Minggu, 07 November 2010

Sebuah Cerita Dari Arina Part 1

        Arina sedang menyisip secangkir kopi hangat di meja makan sambil menikmati pagi yang dingin dan sunyi menyengat dirumahnya. Saat itu Arina sedang sendirian di rumah, karena kedua orang tuanya sedang pergi ke Perancis untuk satu bulan kedepan. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh kurang seperempat ketika Arina menghabiskan kopinya. Setelah mengelap sisa kopi yang ada diatas bibirnya dengan sebuah kertas tisu kecil teramat halus yang berwarna merah tua, Arina beranjak dari kursi dan menyambar tasnya yang tergeletak diatas meja disamping cangkir kopi, lalu pergi untuk kuliah.

        Pada pagi itu jalanan sepi. Arina memilih untuk berjalan kaki pagi itu, mengingat kampusnya hanya berjarak dua blok dari komplek rumahnya dan pagi itu cerah tetapi tak bermatahari. Seperti biasa, kalau hendak ke kampus, Arina selalu melewati blok ‘elite’. Disana merupakan hunian para pejabat, priyayi, dan orang-orang terpandang di kota tempat Arina tinggal. Dulu, ketika Arina masih kecil, dia sering bersepeda melewati blok ini. Saat dia sedang bersepeda melewati rumah yang sangat mewah yang terletak di hook blok ‘elite’ itu, dari jendelanya, Arina kecil bisa melihat ada seorang anak laki-laki seusianya yang tampan tapi berwajah pucat dan berkursi roda sedang bermain piano didalam rumah mewah itu yang suaranya terdengar hingga ke jalanan. Arina sering mengagumi anak itu jika dia tak sengaja lewat dan melihatnya sedang bermain piano. Tapi, jika anak itu menyadari kehadiran Arina, dia selalu menghentikan permainannya dan berbalik membelakangi Arina kecil sambil bergerak menjauhi jendela.

        Seketika itu juga, saat Arina melewati rumah itu lagi, di jendela tempat dulu Arina biasa melihat si pemain piano dari dalam rumah, Arina bisa melihat seorang pemuda tampan tetapi kurus dan berwajah pucat, duduk di kursi roda yang menghadap ke jalanan sehingga Arina bisa melihatnya dengan jelas. Arina menghentikan langkahnya untuk mengamati si pemuda dengan lebih jelas. Arina sekarang melihat bahwa pemuda pucat itu adalah si pianis kecil yang dulu sering dia amati jika dia tak sengaja lewat rumahnya saat bersepeda. Tapi Arina melihat kesedihan dari seluruh gurat wajahnya. Arina dan keluarganya mengenal baik seluruh penghuni blok ‘elite’ meski Arina dan keluarganya bukan penghuni blok tersebut. Tetapi Arina tak pernah mengenal keluarga yang mendiami rumah yang sekarang sedang Arina amati. Arina juga mengenal dengan baik para remaja penghuni blok ‘elite’, tapi tidak demikian dengan remaja atau pun anak dari rumah yang sedang dia amati ini. Saat menatap si pemuda, entah dari mana datangnya, mendadak saja dada Arina sesak oleh perasaan yang biasanya tak dirasakannya- dia merasa kasihan pada pemuda itu. Tak sanggup memandangnya lama lagi, Arina kembali meneruskam langkahnya menuju kampus yang sempat terhenti.

        “ Rin, kamu kok ngelamun aja dari tadi? Ada apa? “ tanya Erin, sahabat baik Arina.
        “ Apa? Enggak, enggak kenapa-kenapa kok, Er. Emangnya ada apa? “ tanya balik Arina pada Erin.
        “ Lah? Kok kamu malah balik nanya sama aku sih? Harusnya aku yang nanya kayak gitu sama kamu. Ah, aku yakin, pasti lagi ada yang ngusik hati kamu ya sekarang. Soalnya gak biasanya gini kamu jadi doyan ngelamun n asyik sendiri. “ terka Erin jitu.
        “ Kamu tau aja Er. Gini, di komplek ‘elite’ yang deket rumah aku tuh, ada rumah yang penghuninya seumuran sama kita, anak cowok. Terus, waktu kecil dulu, aku sering liat dia lagi main piano didalem rumah. Tapi, kalo dia tau aku lagi ngeliatin dia, dia selalu ngehindar dari aku. Nah, barusan aku ngeliat dia lagi main piano lagi tadi pas mau ke-sini. “ jelas Arina panjang-lebar.
        “ Terus, ada yang salah sama dia? “ tanya Erin serius.
        “ Yah, aku kasian ngeliat anak itu. Ganteng sih, tapi dia tuh duduk di kursi roda, mukanya pucat, sama kayak yang menderita banget gitu hidupnya tuh. Dada aku juga sesek waktu ngeliat anak itu tadi. “ kata Arina iba.
        “ Hmm, kayaknya kamu jatuh cinta deh sama anak itu. “ senyum Erin jail.
        “ What??????? Gak mungkin, Er! Kenal sama orangnya aja enggak. Gimana mau jatuh cinta coba? “ sergah Arina kesal.
        “ Ya gak apa-apa juga, ‘kali. Kamu ini normal, kan? Kalo kamu emang normal dan masih suka sama laki-laki ya gak apa-apa. “ bahak Erin puas. “ Ngomong-ngomong, kamu pernah kenalan gak sama dia atau keluarganya sebelumnya? “ tanya Erin kembali serius.
        “ Belum sih. Semenjak aku sama keluargaku pindah ke rumah yang sekarang, aku belum pernah kenalan sama keluarga si pianis itu. “ kata Arina.
        “ Belum? Oh ya, aku ada ide nih. Gimana kalo kamu yang ngajak kenalan si pia-nis itu duluan? Kan, kalian ini tetangga, ingat? “ usul Erin setelah cukup lama hening.
        “ Iya sih. Tapi, aku malu banget kalo sendiri. Mana ya, kalo kamu gak tau, rumahnya tuh gede banget dan banyak penjaganya lagi. Serem ah kalo sendiri amat tuh. “ jelas Arina sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
        “ Ya udah, kalo kamu gak berani gak apa-apa. Aku cuma ngasih usul aja, kok. “ kata Erin sambil membetulkan posisi duduknya karena dosen sudah memasuki ruangan kelas.

                                                 * * *
        “ Er, aku duluan, ya. Sori banget gak bisa nemenin kamu lebih lama lagi, abisnya rumah aku kosong banget, gak ada orang. “ pamit Arina pada Erin yang baru selesai bercakap-cakap dengan temannya yang lain.
        “ Oh ya, besok lagi ya, San- eh apa, Rin? Maaf aku gak denger. “ kata Erin menyahut pada Arina.
        “ Yah, kamu ini. Aku duluan ya, rumah kosong banget soalnya, gak ada orang satu pun hari ini kecuali aku. Bye. “ pamit Arina sambil bangkit dari kursi taman kampus dan menyandangkan tasnya ke kedua bahunya.
        “ Oke, oke. Bye bye Arina! “ balas Erin sambil melambai pada Arina, yang hanya tersenyum geli pada Erin.
        Dijalan, pikiran Arina dipenuhi oleh perkataan Erin tadi pagi, mengenai kunjungan ke rumah si pianis. Karena, meski dia telah mengenal baik semua penghuni komplek ‘elite’, dia sama sekali tidak mengenal keluarga si pianis.
        Sesaat, dia tergoda untuk mengunjungi si pianis, tapi kemudian dia menggelengkan kepalanya untuk membersihkan pikirannya dari hal itu. Tapi, semakin dia berusaha untuk tidak memikirkannya, semakin besar pula rasa penasarannya untuk mengunjungi si pianis.
        Tanpa dia sadari, ternyata sekarang dia berdiri tepat di tempat dimana dia suka mengamati si pianis dulu- tempat dimana dia juga mengamati si pianis tadi pagi. Dan seketika itu juga dia melihat kembali si pianis. Tapi, kali ini dia tidak sedang memainkan pianonya. Saat ini dia sedang duduk di kursi rodanya menghadap ke jendela ke luar rumah dan menatap kosong jalanan. Arina terpaku ditempatnya- mengamati si pianis. Sesaat kemudian, si pianis menyadari kehadiran dan tatapan Arina. Saat si pianis melempar pandang pada Arina, Arina tersenyum padanya- tanda keramahan. Tapi si pianis tidak membalas senyum Arina dan malah memberi pandangan sedih pada Arina, kemudian berbalik memunggungi jendela dan berjalan pergi menggunakan kursi rodanya.
         Arina hanya bisa terpaku ditempatnya. Baginya, ini sungguh aneh. Dia tidak merasa kesal, marah, kecewa, atau pun tak dianggap ketika si pianis tidak membalas senyumannya. Tapi, dia malah merasa heran dan semakin iba pada si pianis. Sekarang, dia menyadari kalau saran Erin ada benarnya- bahwa dia harus mengunjungi rumah si pianis. Segera saja Arina meneruskan langkahnya menuju kerumahnya.
         Ketika sampai rumah, dia langsung memburu kamarnya untuk berganti pakaian, mencuci muka, dan berdandan sedikit. Lalu, setelah semuanya selesai, dia pergi lagi, kali ini tujuannya adalah toko kue yang tak jauh dari rumahnya.
        “ Halo Arina. Ada yang bisa saya Bantu hari ini? “ tanya Marilyn, pramuniaga toko kue yang sudah kenal dekat dengan Arina dan keluarganya.
        “ Halo, Mary. Hari ini aku mau ngunjungin salah satu sodaraku dan aku mau beli sesuatu buat buah tangan. Kira-kira yang pas apa ya kalo kata kamu? “ tanya Arina sambil melihat-lihat kue-kue yang terpajang di display.
        “ Aaah, kayaknya kue ini pas deh. Ini tuh menu terbaru disini. Dan karena masih promosi, harganya jadi dipotong 50% deh. “ kata Marilyn sambil memperlihatkan sebuah kue bolu yang diambilnya dari display yang ada didepannya.   
        “ Kue apa ini? “ tanya Arina sambil menatap kue coklat gelap bertabur white chocolate dan dark chocolate yang tampak manis yang ada didepan matanya.
        “ La Gothique Château. Ini masih baru banget di toko ini. Kalo kamu suka, harganya cuma dua puluh ribu rupiah aja. “ promosi Marilyn.
        “ Whoa, namanya keren banget! Oke, aku ambil kue ini ya. “ senyum Arina pada Marilyn. “ Oke, aku ambil kue ini ya. Semuanya dua puluh ribu sesuai sama harga yang kamu sebutkan tadi, kan? “ canda Arina pada Marilyn.
        “ Oh ya, tentu saja. Harga ini berlaku untuk satu bulan kedepan ya. Rin. “ tawa Marilyn pada Arina sambil menyerahkan kue yang sudah dimasukkan kedalam kotak kue.
        “ Oke, oke. Selamat sore ya, Mary. “ pamit Arina sambil tersenyum dan berbalik meninggalkan depan meja etalase.
        “ Ya, terima kasih banyak Arina. “ balas Marilyn ceria.
        Sambil berjalan meninggalkan toko kue, Arina sibuk berpikir. Apakah nanti dia akan diterima sebagai tamu di rumah si pianis? Atau dia akan diusir begitu saja seperti para peminta sumbangan yang biasanya berkeliling dari pintu ke pintu seperti yang pernah Arina lihat? Tanpa disadarinya, dia sudah berada tepat didepan gerbang berukir rumit yang tak pernah disadari oleh Arina sebelumnya. Arina melihat-lihat kesekeliling, mencari tombol bel atau sejenisnya. Tapi, tidak ada. Baru saja Arina hendak mengetuk tiang-tiang besi pada pagar yang bertindak sebagai tulang pagar, terdengar serangkaian suara metalik tepat didepan muka Arina, yang hanya terhalang oleh pagar tinggi itu.
        Arina mundur seketika itu juga dan setengah terlonjak karena kaget melihat dua orang penjaga yang tinggi, besar, berotot, dan berpakaian serba hitam sedang berdiri dengan jarak hanya sepuluh senti dari tempat Arina berdiri sekarang.
        “ Maaf, Anda mau bertemu siapa, ya? “ tanya penjaga yang berdiri didepan-kiri Arina.
        “ Saya mau berkunjung pada keluarga ini. Apa sekarang mereka sedang ada di rumah? “ tanya Arina sopan sambil sedikit tersenyum berusaha mengambil hati.
        “ Oh ya, mereka sedang berada di rumah sekarang. Tapi, siapa Anda ini? “ tanya penjaga yang tadi menanyai Arina.
        “ Oh ya, saya Arina dan saya tinggal didekat sini juga. Saya hanya ingin mengunjungi rumah ini. “ jelas Arina mulai gelisah, takut kehadirannya tak diinginkan.
        “ Baiklah. Saya akan berbicara dulu dengan tuan rumah sekarang. Apa Anda mau menunggu untuk beberapa saat? “ tanya penjaga itu lagi.
        “ Baiklah, tidak apa-apa. Terima kasih, Pak. “ senyum Arina penuh terima kasih, menangkap sebuah pertanda baik.
        Kedua penjaga itu kemudian berbalik meninggalkan Arina sendirian didepan gerbang rumah. Sambil menunggu, Arina melangkah sedikit lebih dalam lagi untuk melihat ada apa saja di rumah itu. Baru saja Arina menghentikan langkahnya, Arina melihat dari kejauhan, kedua penjaga itu baru keluar dari dalam rumah yang besar dan berjalan menuju ketempat Arina berdiri sekarang.
        “ Tuan dan Nyonya Andrean dengan senang hati menerima Anda sekarang. Silakan masuk. “senyum si penjaga yang tadi menanyai Arina.
        “ Ya, terima kasih banyak, Pak. “ senyum Arina pada dua penjaga itu dan berjalan melenggang memasuki halaman rumah yang besar dan luas serta sangat hijau. Ketika Arina tiba didepan pintu depan yang besar, tinggi, berpelitur, dan berukir rumit, Arina menarik napas dalam-dalam dan mengetuk pintu besar itu. Tiga detik kemudian, pintu terbuka dan muncul seorang wanita tua yang rambutnya beruban semua dan memakai pakaian yang sangat sederhana.
        “ Anda pasti tamu Tuan dan Nyonya Andrean. Mari, mari masuk Nona. “ sambut si wanita tua ramah dengan suara yang agak sedikit bergetar dikarenakan usia tua.
        “ Baik, terima kasih banyak. “ senyum Arina sambil berjalan mengikuti wanita tua itu dibelakangnya.
        Begitu Arina melangkah dari ambang pintu dan sepenuhnya berada didalam rumah, Arina langsung terkesiap melihat sekelilingnya dan hampir tidak memercayai matanya. Meski itu baru ruang tamu- menurut dugaan Arina, tapi segalanya tampak mewah dan mahal. Sofa empuk yang berwarna mahogani, dinding bercat kuning-krem yang tampak megah, jendela tinggi bertirai warna mahogani juga, lemari pajangan berdaun pintu kaca yang meperlihatkan berbagai benda pajangan seperti boneka-boneka Jepang dan Eropa, patung kaca dari Venesia, dan berbagai piring hias bergambarkan menara Eiffel, Big Ben, Patung Liberty, dan Merlion. Oleh si wanita tua, Arina dibawa menuju sebuah taman belakang yang tampah sangat indah dan asri dengan rumpur halus yang hijau menyegarkan, pohon-pohon berbunga putih yang tampak cantik, sebuah gazebo untuk tuan rumah, dan segala macam tanaman yang menurut Arina tampak seperti “ Tanaman Utopia“.
        “  Nona muda, silakan menunggu di gazebo ini. Tuan dan Nyonya akan segera turun untuk menemui Anda. “ kata si wanita tua lagi.
        “ Ya, baik. Terima kasih. “ senyum Arina lagi sambil meletakkan kue yang sejak tadi dibawanya. Setelah si wanita tuu pergi, Arina duduk perlahan-lahan untuk menikmati nikmatnya duduk karena sudah merasa pegal dan ingin duduk sedari tadi. Lima, sepuluh menit, akhirnya si wanita tua muncul sambil diikuti oleh seorang wanita yang tampak anggun sekali dan berparas cantik seperti seorang keturunan Eropa bergaun santai warna lavender yang lembut dan seorang pria yang tampak gagah dengan postur tubuh tinggi besar, tampan untuk pria seusianya, dan tampak sangat berwibawa dalam balutan pakaian kaus Polo warna putih dan celana panjang santai warna khaki.
        Arina berdiri untuk menyambut mereka bertiga. Ternyata kedua tuan rumah hendak menghampiri tempat Arina berada. Setelah memberi isyarat pada si wanita tua agar pergi, kedua tuan rumah tersenyum hangat pada Arina, pertanda baik.
        “ Halo Nona muda, apa kita boleh tau nama kamu siapa? “ tanya si wanita anggun itu sambil tersenyum menyenangkan.
        “ Selamat sore, Tante. Nama saya Arina dan saya tinggal tak jauh dari sini. “ senyum Arina santai sambil menyalami si wanita anggun dan si pria gagah. “ Saya sendiri boleh tau nama Tante dan Om? “ tanya balik Arina sopan.
        “ Oh ya, nama Tante Maya. Ini suami Tante, Om Edward. “ kata Tante Maya ramah pada Arina. “ Oh ya, Arina bawa apa itu? “ tanya Tante Maya sambil menunjuk pada kotak kue yang terletak di gazebo rumah.
        “ Ini, Tante, saya bawa sedikit hadiah buat Tante dan Om. Sebentar, saya ambil dulu kalo gitu. “ kata Arina sambil berbalik perlahan dan berjalan menuju gazebo, lalu mengambilnya dan berjalan menghampiri kedua tuan rumah lagi.
        “ Wah, Arina lain kali jangan repot-repot, Nak. Tapi, kalo Tante boleh tau, ini apa ya? “ tanya Tante Maya penasaran.
        “ Itu La Gothique Château, Tante. Mudah-mudahan Tante dan Om suka. “ kata Arina agak kecil.
        “ Aduh, terima kasih banyaka Arina, Tante dan Om senang sekali kamu membawakan ini. Bi, Bi Anih! “ seru Tante Maya, lalu tak lama muncullah si wanita tua yang bernama Bi Anih dari dalam rumah menuju taman. “ Bi Anih, tolong bawa ini kedalam dan sajikan segera untuk empat orang. Setelah itu ajak Nicho turun untuk menemui Arina ini, ya. “ Kata Tante Maya pada Bi Anih, yang patuh pada perintah Tante Maya.
        “ Ayo, Rin, kita duduk di gazebo sambil menunggu Nicho turun. “ ajak Tante Maya sambil berjalan mendahului Arina dan Om Edward menuju gazebo.
        “ Kamu pasti bertanya-tanya, kenapa Tante dan Om jarang terlihat bergaul di sekitar blok? “ tanya Om Edward jitu pada Arina yang tertegun, kaget mendengar ucapan Om Edward yang tahu maksud kedatangannya.
        “ Iya, Om. Kalo saya boleh tau, kenapa, ya? ” tanya Arina hati-hati, takut tidak sopan.
        “ Karena kami berdua sibuk bekerja dan waktu luang kami, kami habiskan hanya untuk Nicho seorang.“ jelas Om Edward lagi.
        “ Oh gitu ya. Ngomong-ngomong, Nicho itu putra Om dan Tante ya? “ tanya Arina paham.
        “ Iya, dia putra kami satu-satunya. Dia seumuran kamu kebetulan. Nah, itu Nicho datang. “ kata Tante Maya, ada nada menyambut dalam suaranya saat dia melihat Bi Anihkembali menuju taman itu sambil mendorong si pianis tampan tapi pucat di kursi rodanya. Arina mengikuti tuan rumah yang berdiri menyambut si pianis. Ketika si pianis semakin mendekat, Tante Maya bergerak mendekati si pianis, diikuti oleh Om Edward dan Arina.
        “ Nicho, sekarang kita kedatengan tamu nih. Kebeneran dia tetangga kita juga. Ayo, kenalan sama Arina. “ kata Tante Maya yang berdiri disisi kanan kursi roda Nicho. Saat Arina mengamati Nicho dengan jarak sedekat ini untuk pertama kalinya, dia merasakan seperti ada sesuatu yang bergejolak dalam dadanya yang rasanya tak pernah dirasakannya sebelumnya dan mendadak saja, semuanya terasa beku, dingin, dan tak ramah. Nicho terlihat tampan meskipun tampak pucat, sedih, kurus, dan tak sehat. Tapi, saat matanya bertemu mata Arina dan saling pandang untuk beberapa saat, Arina melihat dengan mata kepalanya sendiri, air muka Nicho berubah menjadi ceria, bergairah, dan seakan menemukan semangat hidup baru tapi sedetik kemudian kembali murung dan dingin.
        “ Halo, aku Arina. Nama kamu siapa? “ tanya Arina memperkenalkan dirinya sambil mengulurkan tangan kanannya. 
        “ Nicho. “ kata Nicho singkat, agak dingin, dan berat meski menerima tangan Arina dan menjabat tangannya. Tangan Nicho terasa sangat dingin, dalam artian yang sebenarnya. Tapi, pada saat Arina hendak melepasnya dengan sangat perlahan dan berusaha agar tak terasa oleh Nicho, Nicho tak mau melepaskannya. Tapi, akhirnya Nicho melepaskan tangannya dari tangan Arina.
        “ Oh ya, gimana kalo kita duduk-duduk di kursi taman yang ada disana? “ tanya Om Edward sambil menunjuk satu set kursi dan meja taman yang keberadaannya tak terlihat oleh Arina.
        “ Ayo, Arina. Kita kesana. “ ajak Tante Maya sambil mendorong kursi roda Nicho dan mulai bergerak mendahului Arina. Arina mengikuti disamping Nicho dan Tante Maya. Akhirnya mereka sampai di meja dan kursi taman yang dimaksud. Setelah mendorong kursi roda Nicho hingga Nicho bersebelahan dengan Arina, Tante Maya duduk di kursi taman yang ada disebelah Om Edward. Karena meja itu berbentuk bundar, jadi satu sama lainnya dapat saling pandang. Arina menangkap dari sudut matanya, Nicho sesekali mencuri pandang padanya.
        “ Oh ya, sekarang Arina masih sekolah atau sudah kuliah? “ tanya Om Edward membuka perbincangan.
        “ Saya sekarang kuliah Semester Dua, Om. “ kata Arina sambil tersenyum.
        “ Kuliah? Dimana? Jurusan apa, Arina? “ tanya Tante Maya tampak tertarik.
        “ Di San Angelo Unversity, Tante. Jurusan Psikologi. Nicho, kalo kamu sekarang kuliah atau enggak? “ jawab Arina lagi. Kali ini dia yang penasaran.
        “ Nicho sekarang gak kuliah. Kita berdua sedikit khawatir dengan kesehatannya kalo Nicho maksain kuliah. “ jawab Tante Maya.
        “ Oh enggak, ya. Maaf, Tante, Nicho, tapi, kalo saya boleh tau, kenapa Nicho gak kuliah? Terus, ada apa sana kondisi kesehatannya Nicho.
        “ Nicho ini jantungnya lemah sejak umur dua bulan. Terus ada gangguan lambung kronis, jadi dia sama sekali gak boleh kecapekan. Sedangkan, kamu sendiri kalo kuliah kan pasti capek banget, ya? “ kata Tante Maya meminta pendapat Arina.
        “ Oh ya, maaf ya, Nicho. “ kata Arina sambil memandang Nicho dengan perasaan yang amat menyesal.

                                               To be continued . . .