Sabtu, 20 Oktober 2012

Pergi Tak Kembali


               
 Rumah sepi sepeninggal Novak. Yang terdengar saat ini hanya suara jangkrik di halaman belakang dan deru kendaraan di kejauhan. Aku sedang membereskan meja ruang tengah yang tampak berantakan. Rino sudah kembali ke kamar. Entah hanya mataku saja yang mulai tak beres karena sudah mengantuk atau memang wajah Rino tampak memucat. Ketika ada Novak pun wajah Rino sudah tampak lebih pucat, nafasnya seperti yang berat ketika berbicara.
                Sambil mencuci gelas dan piring kotor aku terus menajamkan telingaku, kalau-kalau terjadi sesuatu pada Rino. Akhirnya aku selesai juga mencuci piring. Kulihat jam dinding, sudah pukul setengah sepuluh malam. Aku tersentak karena Rino belum meminum obatnya. Aku segera menyiapkan obat-obatan Rino, kemudian menuju ke kamar Rino untuk membangunkannya.
                Aku memasuki kamar Rino yang, anehnya, gelap karena Rino mematikan lampunya. Aku menyalakan lampu tidur di meja samping tempat tidur Rino sehingga kamar menjadi menyala redup. Aku duduk di samping kiri Rino dan melihat Rino tampak tertidur pulas sekali. Aku tersenyum meliahtnya tertidur demikian.
                Ada yang salah, tak terasa hembusan nafas Rino didekatku, dada Rino pun tak tampak naik-turun seperti layaknya orang bernafas. Aku mulai panik, rasanya jantungku bocor melihat pemandangan ini. “ No, Rino, bangun, No. “ kataku sambil menepuk-nepuk pipinya. “ Rino, bangun, No, ini gak lucu sama sekali! “ panikku. Aku menyibakkan selimut Rino dan berusaha melakukan pertolongan pertama dengan memicu jantung Rino dengan teknik CPR. Setiap semenit aku mengecek barangkali ada degup jantung. “ Fahrino, bangun. Fahrino adik aku tolong bangun dong! “ tangisku panik sambil terus melakukan pertolongan pertama. Fahrino tak tampak merespon pertolonganku. Aku hanya bisa menangis sambil terus berusaha menolong Rino. Tiba-tiba terlintas Novak dibenakku. Aku segera berlari menuju ruang tengah memburu ponselku dan menelepon Novak.
                “ Novak, Rino meninggal, Rino meninggal! “ tangisku histeris ketika Novak mengangkat teleponku. “ Iya, kamu cepet ya kesininya ya. Bye. “ kataku  menyudahi pembicaraan sambil menangis dan berlari-lari menuju kamar Rino. Di dalam kamar Rino tetap terdiam, tak tampak bernyawa. Aku dengan paniknya berusaha menelepon Ibu dan Ayah, dan betapa murkanya aku ponsel keduanya mati. Aku hanya bisa menangis sambil menunggu Novak datang. Tak lama terdengar suara deru motor dan orang berlari, disusul oleh suara pintu depan yang terbuka.
                “ Rin? Fahrina? “ teriak Novak.
                “ Novak! “ balasku sambil menangis tersedu-sedu, tak mau meninggalkan sisi Rino.
                Novak menemukanku duduk meringkuk di lantai samping tempat tidur Rino. Dia tampak pucat kena angin dan rambutnya berantakan. Aku langsung memeluk Novak dan menangis sekerasnya. “ Rino, Vak. Rino! “ tangisku dalam dekapannya.
                Novak melepaskanku dan melihat Rino. Dia tampak membeku, sorot matanya dingin, bibirnya kelu kehilangan kata-kata. Kemudian Novak menyelubungi tubuh Rino dengan selimutnya agar aku tak usah melihatnya lagi. Novak meraih ponselnya di saku jaketnya dan menelepon seseorang.
                “ Halo, suster, tolong kirim ambulans ke Istana Sukajadi Blok B nomor tiga ya, cepat, di sini ada yang butuh pertolongan. “ kata Novak tanpa ekspresi, lalu menyudahi pembicaraan.
                Aku terus menangis dengan Novak merangkul bahuku ketika ambulans sudah datang. Aku di bawa keluar rumah oleh Novak, agar aku tak usah melihat Rino. Hatiku menjerit ketika melihat tandu terselubung dengan kain putih di bawa keluar oleh beberapa petugas ambulans melintas di depanku dan Novak. Banyak tetangga sekitar rumah yang berdatangan melihat ada apa ini. Tandu berisi tubuh belahan jiwaku sudah masuk ke dalam ambulans. Ketika aku dan Novak berjalan menuju ambulans, banyak tetangga yang menggumamkan simpati mereka yang tak dapat aku dengar dengan baik. Dunia rasanya silau dan buram. Aku terus mengisak bahkan ketika sedang berada didalam ambulans.
                “ Udah, Rin. “ bisik Novak memelukku, berusaha menghiburku.
                Aku tak mampu berkata-kata. Di mana Ibu dan Ayah dalam keadaan seperti ini? Kenapa ponsel mereka bisa mati dalam waktu yang bersamaan? Tuhan, kenapa ini semua harus terjadi?




Mungkin ini memang takdirku

Untuk terpisah dari belahan jiwa,

Buah hati yang selalu aku cinta


Mungkin ini jalan terbaik untukku

Agar aku tak menghilangkan

Senyum indah dari bibir manismu


Kasihmu yang tulus dan hangat

Akan selalu aku kenang

Cintamu yang berpendar

Dalam hati ini

Akan selalu membara

Untuk ribuan tahun


Teruntuk kekasih jiwaku,

Fahrina yang tersayang

Yang akan ada dihatiku

Hingga akhir masa

Novak


                
Ketika pintu rumah orang yang paling aku cintai terbuka, muncul sesosok remaja laki-laki yang berwajah putih, pucat, dan tampan dari baliknya mengenakan pakaian rumah santai yang sudah beberapa kali aku lihat. Remaja laki-laki itu tersenyum melihatku berdiri dihadapannya.
                “ Hei Novak, udah lama gak liat kamu. “ kata remaja laki-laki yang sekilas mirip Fahrina menyalamiku.
                Aku menyambut tangannya yang terasa agak dingin bagiku dan tersenyum, “ iya nih aku kan sekarang sibuk nyusun TA. “ kataku hangat.
                Kami berhenti jabatan tangan dan masuk ke dalam rumah. Aku dibawanya masuk ke dalam ruang tengah rumahnya yang nyaman dan duduk di sofa sementara dia mengambilkanku secangkir minuman.
                “ Tadi Fahrin kesini dulu gak? “ tanyaku ketika dia duduk disampingku dan secangkir teh hangat tersaji didepanku sekarang.
                “ Iya, tadi jam dua belasan lah, terus dia pergi lagi tapinya jam setengah tiga kurang. Kapan mulai sidang nih? “ tanyanya.
                “ Yah kalau lancar, agustus udah sidang lah. Doain ya. “ kataku sambil menepuk bahunya yang terasa agak bertulang bagiku.
                Rino tertawa mendengar ucapanku. Kemudian dia menyalakan televisi dan beranjak sebentar meninggalkanku. Sambil menatap layar televisi, pikiranku melayang kemana-mana setelah otakku panas ketika dosen pembimbingku, Pak Abdul mencercaku habis-habisan mengenai Tugas Akhir yang baru rampung tadi malam, mengingat dead-line Tugas Akhir ini tadi pagi. Tak apa lah dia mencecarku, karena dia adalah Dosen Utama di sidang nanti, jadi kalau dia banyak memberikan revisi, aku sudah tenang tak perlu melakukan revisi lagi nanti kalau akan sidang.
Pandanganku tentang Fahrin dan Rino sungguh menarik hati. Pertama kali aku melihat Fahrin, hatiku seakan terikat padanya. Aku mempunyai firasat kalau aku akan bersamanya hingga akhir hayat. Kelak, kalau dia sudah lulus, aku ingin melamarnya untuk menjadikannya wanitaku yang pertama dan terakhir.  Dia perempuan yang baik, cantik, selembut dan selemah seperti seorang putri kecil, tetapi dia bisa setegar batu karang dan sekuat ombak samudera. Dia bisa jadi sangat kekanakan kalau pusing menghadapi tugas kuliah dan pekerjaan rumah yang banyak, tapi dia juga menjadi segarang singa betina kalau dia sedang memimpin teman-temannya dalam hal yang menuntutnya menjadi pemimpin.
                Mengenai Rino, anak ini sungguh unik. Pasti banyak anak perempuan yang naksir padanya, karena menurutku dia anak laki-laki yang tampan dan sangat menghormati perempuan, dari yang aku lihat selama ini, baik dari cerita-cerita Fahrin atau yang aku lihat dengan mataku sendiri. Satu hal yang aku sayangkan adalah dia menderita penyakit yang mungkin sekali mengambil hidupnya setiap saat. Aku ikut sedih ketika mendengar cerita kalau Fahrin pun tidak tahu mengenai penyakit Rino, karena keluarga ini tidak mau kehilangan senyum hangat dari Fahrin.
                Saat itu Sabtu pagi, Fahrin mahasiswa semester satu akhir dan aku mahasiswa semester lima akhir. Dua minggu lagi kami Ujian Akhir Semester dan aku baru saja jadian dengan Fahrin selama dua minggu. Kami pedekate selama dua minggu, dua minggu yang berkesan menurutku. Katanya, dulu Fahrin selalu gemetar ketakutan melihatku. Mendengar namaku disebut saja dia sudah ngeri, tapi akhirnya dia luluh dengan pendekatanku yang amat sangat hati-hati. Dua minggu kami jadian, Fahrin ingin mengenalkan aku pada adik kembarnya, Fahrino, atau Rino. Fahrin bilang, sebelum bertemu dengan ke dua orang tuanya, dia selalu mengenalkan semua teman laki-lakinya pada Rino, karena dia percaya sepenuhnya pada Rino. Dia yakin Rino bisa membedakan mana orang yang baik dan yang tidak pada Fahrin. Aku pun setuju untuk bertemu dengan Rino terlebih dahulu, sebelum pada ke dua orang tuanya.
                Sabtu pagi tanggal 15 November, aku yang berpakaian sebaik mungkin dan serapi mungkin dengan percaya diri membawa motorku menuju rumah Fahrin. Pukul sepuluh pagi, aku sudah berdiri di depan pintu rumah Fahrin. Aku sengaja membeli tart coklat kecil, karena katanya Rino suka sekali dengan tart coklat. Aku mengetuk pintu rumah Fahrin dengan perlahan.
                Dari balik pintu muncul Fahrin yang bagiku sangat cantik hari itu. Aku masih ingat jelas sekali, kemeja biru garis dan celana jins biru lusuh dan rambut terurai membingkai wajahnya. Dimataku, dia tampak sangat mengesankan meski jauh dari kesan anggun dan feminim. Aku suka perempuan yang tidak terlalu feminin tapi tidak terlalu maskulin juga. Aku mendapatkan itu dari Fahrin.
                “ Halo Novak, masuk yuk? Udah ada yang nungguin tuh. “ kata Fahrin sambil menarik lengan kananku, mengajakku masuk ke dalam rumahnya.
                Ketika aku masuk ke dalam rumah, suasana rumah sepi sekali, bahkan suara tonggeret di kejauhan yang aku sendiri tidak tahu keberadaannya pun terdengar jelas. Tak lama aku tiba di ruang keluarga, di mana di sana duduk seorang remaja yang umurnya tak jauh berbeda dari Fahrin sendiri.
Dia duduk dengan lemas di sofa yang menghadap ke ruang depan. Dia memakai sweter putih dan celana panjang hitam. Rambutnya tampak acak-acakan dan sedikit tak terurus. Aku melangkah lebih jauh ke dalam ruang keluarga yang berkarpet coklat tua itu. Kulihat sekarang, wajah Adik kembar Fahrin tampak semakin jelas. Wajahnya tirus, matanya dibayangi lingkaran hitam seperti orang sedang sakit, bibirnya pucat tak berwarna, dan yang paling membuatku tak bisa mengalihkan pandangannku adalah sorot mata dan ekspresi wajahnya yang secara keseluruhan menunjukkan kalau dia sakit parah.
“ Novak, ini adik aku, namanya Fahrino Novan Ibrahim, tapi dia biasa dipanggil Rino. “ kata Fahrin sambil berdiri disampingku dan di depan Rino, adik kembar Fahrin.
Aku bertumpu pada kedua lututku menghadapnya dan menggenggam tangan kanannya sambil berbicara pelan padanya- untuk sekian detik aku merasakan firasat buruk tentang Rino, “ hai Rino, aku Novak Abraham, kamu boleh panggil aku Novak. “
Tidak ada hujan dan angin, tanpa ada peringatan sebelumnya, mendadak Rino memuntahkan darah segar berwarna kehitaman dari mulutnya ke wajah dan tubuh bagian depanku, mengotori jaket biru dan putih kesayanganku.
“ RINOOOOOOOO!!!!!!” jerit Fahrin sambil mengguncang-guncang tubuh Rino.
Tak lama, Rino jatuh kedalam pelukanku. “ Fahrin ini gimana? “ kataku panik dan histeris padanya.
                “ Tunggu! Aku ambilin obatnya dulu. “ kata Fahrin histeris dan berlari-lari menuju ruangan lain.
                Aku membaringkan tubuh Rino di sofa dan berusaha membangunkan Rino. Detak jantungnya ada, tapi nafasnya lemah. Sambil berusaha membangunkannya aku berdoa sepenuh hati agar Tuhan tidak mengambil Rino. Tak lama muncul Fahrin, sambil membawakan obat dan suntikan. Fahrin menyuntik Rino dengan gemetar, lalu menyiapkan obat-obatan Rino. Aku mengelap darah yang ada disekitar mulut dan dagu Rino. Beberapa menit kemudian, Rino membuka mata dan terbatuk-batuk, batuk yang berdarah dan tampak menyakitkan. Aku berusaha menyeka darah di mulut Rino sementara Fahrin mulai meminumkan obat pada Rino yang tampak sangat kesakitan. Setelah obat yang diberikan Fahrin ditelannya, Rino mulai tampak tenang.
                “ Gimana? Masih sakit? “ tanya Fahrin pelan pada Rino.
                Rino hanya diam, dan aku kaget karena sebutir air mata menetes dari matanya. Aku segera menyekanya, entah kenapa aku pun ingin ikut meneteskan air mata.
                Fahrin tampak ingin menangis, dan suaranya bergetar ketika berkata, “ kamu tenang aja, sakitnya bakal hilang kok sebentar lagi. “
                Aku, yang orang asing di antara mereka, hanya bisa terdiam dan merangkul bahu Fahrin dan menggenggam tangan Rino. Seperti yang sudah aku ramalkan, Fahrin menangis juga di atas tubuh Rino. Aku hanya bisa mengusap-usap punggung Fahrin dengan prihatin.
                “ Rino, kamu jangan sedih. Kalau kamu sedih, Fahrin juga ikut sedih. Kamu jangan takut, Fahrin sama aku pasti ada buat kamu. “ kataku bingung pada Rino.
                Aku tak menyangka, Rino mau mendengar ucapanku, “ aku gak sedih, aku cuma takut mati sekarang. “.
                “ Shhh, kamu gak boleh ngomong gitu. “ aku semakin bingung sekarang, mau berbicara apa lagi untuk menenangkan hati Rino.
                Itulah pertemuan pertamaku dengan Rino, meski dia muntah darah di pertemuan pertama kali, tapi itu tidak membuatku lantas ingin meninggalkan Fahrin dan Rino. Aku cukup salut pada Rino dan semangatnya untuk terus hidup.
                “ Woi, ngelamun lu. “ Rino membuyarkan lamunanku seketika.
                “ Hah? Sedih gue, gue takut TA gue gagal nih. “ kataku ketika Rino mengambil tempat disamping kananku.
                Terdengar suara pintu depan terbuka, kemudian menutup. Pasti itu Fahrin. Dan ketika aku menoleh kebelakang, benar saja itu dia, tampak lelah dan kusut. Tapi ketika dia melihatku dan Rino, wajahnya langsung cerah ceria.
                “ Halo cowok-cowok ganteng. “ katanya sambil menghampiriku, lalu mencium pipiku dan pipi Rino. “ Kamu udah lama, sayang? “ tanyanya padaku.
                “ Sekitar setengah jam yang lalu deh. “ jawabku ketika dia mengambil tempat diantara aku dan Rino.
                “ No, kamu sakit lagi gak? “ tanya Fahrin sambil memegangi kepala Rino.
                “ Enggak, kok. “ jawabnya lembut.
                “ Oh iya, aku mau masak makan malem dulu ya buat kita. Kalian pasti udah pada lapar. “ katanya sambil bangkit berdiri.
                Aku dan Rino hanya membantu seadanya saja, karena ketika kulihat Fahrin hanya membuat sayur bening saja, dan nasi sudah masak dari tadi, sisa makan siang rupanya. Setelah semua tersaji di meja makan, kami mulai makan.
                “ TA kamu lancar, Vak? “ tanya Fahrin sambil menyiapkan obat-obatan Rino.
                “ Yah, tadi dead-line­­-nya. Minggu depan revisi-revisi lagi lah. Minta ampun deh ini ribetnya. “ kataku sambil menghela napas panjang.
                Kemudian suasana hening. Karena kehabisan bahan pembicaraan, aku hannya bisa memperhatikan Rino yang sedang minum obat. Aku tahu betul kalau sebenarnya Rino benci meminum semua obat itu. Agar tak mati gaya, kuputuskan untuk memutar-mutar saluran televisi, mencari acara yang seru. Kami pun menyelesaikan makan malam dalam keadaan hening.
                “ Besok kamu masih ke kampus? “ tanya Fahrin padaku.                “ Masih, pokoknya terakhir ke kampus tuh nanti tanggal 15 mei soalnya tanggal itu tuh hari terakhir UAS. Setelah itu libur sambil ngerjain TA. Doain aku ya Sayang. “ kataku sambil menggenggam tangan kanannya yang berkulit halus tapi kencang bagiku.
                Fahrin tersenyum menatapku, tatapan yang hangat, bersahabat, dan menenangkan itu selalu dapat membuatku sejenak melupakan permasalahan-permasalahanku yang banyak, beruntung sekali Rino memiliki kembaran seperti Fahrin dan, bagiku, betapa beruntungnya juga diriku bisa setiap saat melihat tatapan Fahrin itu.
                Ketika aku melihat jam di telepon genggamku, betapa kagetnya diriku karena jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. “ Sayang, udah jam segini ternyata. Gak kerasa emang waktu tuh kalo lagi di rumah ini. Besok kamu kuliah kan, nah aku pulang dulu, ya. “ kataku sambil melepaskan genggamanku pada Fahrin.
                “Oh iya ya, ya ampun aku kira masih jam berapa gitu. “ kata Fahrin ikutan kaget sepertiku ketika melihat jam di dinding.
                “ Kamu buru-buru banget sih, udah main dulu disini. “ kata Rino berdiri ketika aku dan Fahrin berdiri.
                “ Pengennya sih aku masih disini, gak tau deh, kok betah banget disini tuh. Tapi, besok Fahrin kuliah pagi dan aku gak mau dia telat atau bolos. “ kataku sambil mengelus kepala Fahrin,  lalu mencium dahi Fahrin. “ Jagain Rino ya. Kalau ada apa-apa, telepon aku aja. “ kataku lagi.
“ Lu baik-baik ya malem ini, No. Jangan ngelakuin hal yang aneh-aneh ya. “ kataku sambil menepuk bahu Rino, lalu mengambil tasku dan berjalan, dilepas oleh Fahrin dan Rino.
                “ Bye bye! “ kata Fahrin melepasku.
                Aku tersenyum dan melambai pada kedua orang yang aku sayangi, dan aku memacu motorku menuju rumahku yang berjarak lumayan dari sini.
                Sepanjang perjalanan pulang, aku terus memikirkan Fahrin dan Rino. Tuhan, aku betul-betul sayang pada Fahrin, dia perempuan terbaik yang pernah aku temui selain ibuku. Aku juga sayang pada Rino, laki-laki paling tegar yang pernah aku kenal. Sekali lagi Tuhan, jaga selalu Rino, jangan biarkan Rino kehilangan kesempatannya untuk sembuh dan sehat seperti yang lainnya, lindungi Fahrin agar tetap tegar menghadapi kehidupan ini dan jangan biarkan semangat Fahrin untuk menjaga Rino padam.

Fahrino


                
Rasanya seperti akan mati. Setiap rasa sakit yang memuakkan ini datang, rasanya aku seperti melihat ada malaikat maut yang siap menjemputku. Setiap kali penyakitku kambuh, kepalaku rasanya mau pecah, perutku terasa bergejolak, dan kalau cairan merah kehitaman amis itu sudah keluar dari mulutku aku baru merasa sedikit lega. Tapi aku kasihan melihat Fahrin yang tampak sangat stress jika aku sudah memuntahkan darah. Sejujurnya, keberadaan Fahrin disisiku saja sudah jadi obat mujarab bagiku. Memang, dia tidak setelaten Ibu dalam hal merawatku, tapi dia memancarkan cinta yang lebih kepadaku. Cinta seorang kakak kepada adiknya yang bagiku betapa beruntungnya diriku dilahirkan bersamaan dengan dia, Fahrina Dina Amaranti.
Fahrin, mungkin kamu tahu kalau denganmu saja aku sudah merasa jauh lebih baik, tapi kamu tidak tahu betapa besarnya pengorbanan kamu buat aku. Kalau ada kata-kata yang bisa mengungkapkan sesuatu yang lebih dari rasa terima kasih, kamu layak mendapatkan itu. Selama ini kamu tidak tahu penyakit apa yang menderaku. Sebetulnya Ayah dan Ibu sudah memberitahukan semuanya, tapi mereka dan aku tak ingin merusak keceriaanmu, kerianganmu, dan menghapus senyum dari wajah cantikmu.
Aku menderita kanker otak dan sirosis hati. Jujur, ketika aku mendengar ini pertama kali dari Ibu yang menangis, aku sampai berharap kalau Tuhan mengambilku hari itu juga. Hatiku pedih mendengar kenyataan pahit ini. Tapi, ketika kulihat semangatmu untuk meraih hidup, aku langsung malu pada diriku sendiri. Kamu perempuan yang kuat. Kamu juga perempuan yang tahan banting meski masalah mendera tak henti-henti. Aku ingin sepertimu, saudara.
                Hatiku hancur saat mengetahui kalau kamu tak suka hanya berduaan saja denganku di rumah. Aku tak sengaja mendengar percakapan antara kamu, Ayah, dan Ibu kemarin malam sebelum keberangkatan mereka ke Jerman.
                “ Aku gak mau cuma berdua sama Rino aja, Yah-Bu! Aku takut dia mati kalau aku salah kasih obat! Aku gak sanggup ngurus dia sendiri! “ kata Fahrin histeris.
                “ Fahrin, kamu gak boleh gitu, kamu pasti bisa ngurus dia sebaik Ibu ngurus Rino. “ kata Ayah berusaha menenangkan Fahrin.
                Setelah itu aku bergegas berlalu dari kamar Ayah dan Ibu, jadi aku hanya sekilas mendengar suara Fahrin yang masih histeris. Dia tak tahu, sebetulnya Ayah dan Ibu pergi ke Jerman bukan untuk mengurus proyek ayah yang ada disana, tapi Ayah dan Ibu sedang mengurus operasiku nanti bulan Mei. Ayah tahu kalau kedokteran Jerman sudah berkembang pesat, dan Ayah bilang kalau ada temannya yang sukses menjalani operasi transplantasi hati dan pengangkatan kanker otak. Kebetulan Ayah punya client seorang dokter bedah disana yang sudah menjadi temannya, jadi teman Ayah yang dokter itu akan menangani operasi besarku ini. Ayah senang sekali dengan kabar bahagia ini. Tapi sayangnya Fahrin tidak boleh tahu, karena sedari awal dia tidak tahu apa sesungguhnya yang menggerogoti tubuhku ini. Akhirnya kami sepakat, Fahrina akan kami beritahu ketika hari keberangkatanku ke Jerman.
                Akhirnya, rasa sakit dikepalaku pelan-pelan mereda. Aku merasa sedikit tenang dengan Fahrin masih mendekapku erta-erat.
                Mungkin Fahrin menyadari kalau aku sudah berhenti kesakitan, “ gimana, No? Kamu udah baikan? Kepala kamu gak sakit lagi? “ bisiknya masih nyata khawatir.
                “ Udah enggak ko. “ bisikku serak.
                Kemudian Fahrin membantuku bangun dan memapahku ke dalam kamarku, lalu membaringkanku di tempat tidur. Sambil menyelimutiku, dia masih tampak sedih dan khawatir.
Kalau saja kamu tahu isi hatiku, aku berterima kasih sekali padamu, Fahrin.
                “ Malem ini aku tidur disini ya. Aku cuma mau mastiin kamu kalo kamu baik-baik aja aku tinggal besok. “ kata Fahrin sambil berbaring disebelah kananku.
                Aku hanya bisa mengangguk, takut kalau sakit kepalaku muncul lagi. Kemudian aku melihatnya memejamkan matanya yang indah. Aku tak mau dia kedinginan, jadi aku berbagi selimut dengannya. Banyak yang bilang kalau kami tidak seperti saudara kembar, kami lebih menyerupai sepasang kekasih. Apalagi jika kami hanya jalan-jalan berdua saja, rasanya semua mata menatap ke arah kami berdua.
                Fahrin sudah seperti ibu saja bagiku. Dia baik, lembut, meski terkadang menyebalkan dan kelewat cerewet, tapi kalau sehari tak menatapnya dan mendengar celotehannya yang sibuk menyuruhku meminum obatku rasanya aku merasa ada yang kurang. Kadang juga dia seperti adikku, meskipun sebenarnya aku adiknya. Kadang dia manja minta aku menemaninya tidur, memasak di dapur, atau mencuci baju di belakang rumah dengan alasan takut. Kadang juga aku menjadi teman curhatnya kalau dia sedang galau dengan Novak. Tapi tak jarang juga aku bercerita kalau aku sedang ada masalah dengan Amy.
                Novak baik sekali padaku, dia sudah seperti menganggapku adik laki-lakinya. Kalau saja dia bisa betul-betul menjadi bagian dari keluarga ini, aku akan senang sekali. Novak sering bercerita banyak padaku, tentang bagaimana Fahrin di kampus, kehidupannya sendiri yang bagiku extra ordinary, dan bagaimana perasaannya pada Fahrin.
                Rasanya seperti baru sedetik ketika aku terbangun keesokan paginya. Ketika kulihat sisi kananku, Fahrin sudah tidak ada. Sayup-sayup kudengar ada suara orang yang sedang sibuk di dapur rumah. Rupanya Fahrin sudah sibuk di dapur sepagi ini. Ketika kulihat jam dinding, masih pukul setengah enam pagi. Aku bangun dari dalam selimut dan berjalan menuju ruang tengah.
                “ Kamu udah bangun. “ sapa Fahrin sambil sibuk membuat teh dan roti panggang sebagai menu sarapan.
                Aku masih belum tersadar sepenuhnya, sambil menggosok-gosok mataku, kulihat di meja makan sudah tersedia berbagai macam selai, obat-obatanku, piring dan tea set keramik putih, pisau dan garpu, meja makan sudah rapi tertata. Tak lama Fahrin membawa sepiring roti panggang yang menguarkan aroma yang menggiurkan dan poci teh keramik putih juga. Aku duduk manis di meja makan, tak sabar memakan sarapan buatan Fahrin, selain karena perutku tak terisi apa-apa lagi sejak kemarin petang. Kami pun mulai makan. Tak tampak raut wajah khawatir di wajah Fahrin. Meskipun bukan sekali dua kali aku memergoki kalau Fahrin sedang menatapku dengan salah tingkah dan gelisah. Selesai sarapan aku mulai meminum obat-obatanku yang banyak itu.
                “ Amy mau dateng jam berapa? “ tanya Fahrin setelah lama hening.
                “ Jam sembilan lah. Kamu berangkat jam berapa? “ tanyaku balik.
                Fahrin menatap arloji hitam favoritnya dan sedikit kaget, “ aku berangkat sekarang ah. Udah jam enam aja. Kamu hati-hati ya di rumah. Jangan lupa minum obat oke. “ kata Fahrin sambil bangkit dari kursi dan segera mengambil tasnya dan kunci motornya, lalu berjalan ke halaman depan untuk mengeluarkan motornya.
                “ Bye bye Fahrin. Hati-hati ya. “ senyumku melepasnya pergi.
                Fahrin tersenyum riang padaku, lalu meluncur pergi meninggalkanku sendiri. Aku segera masuk kedalam rumah, senin pagi rasanya dingin sekali bagiku. Sambil menunggu jam sembilan, lebih baik aku tidur lagi saja.
                                                                                                * * *
                Aku terbangun mendadak oleh dering nyaring dari ponselku. Ternyata itu Amy meneleponku. “ Halo? “ kataku masih sedikit mengantuk.
                “ No, aku udah depan rumah nih. “ kata Amy dari telepon.
                “ Tungguin. Aku keluar sekarang. “ kataku menyudahi telepon dan mematikannya, lalu bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju luar rumah.
                Memang benar Amy sudah ada di depan rumah. Mobil kecilnya yang berwarna abu-abu metalik sudah terparkir rapi di depan rumahku. Tak lama perempuan paling cantik yang rambut panjangnya sekilas mirip rambut Fahrin turun dari dalam mobil. Aku menyambut Amy dengan membukakan gerbang depan rumah untuknya.
                “ Pagi Sayang. “ kata Amy sambil memelukku dan kemudian mencium pipi kananku dengan hangat.
                “ Pagi juga. Yuk masuk. “ kataku sambil menggandeng lengannya ke dalam rumah.
                “ Fahrin kuliah ya? “ tanyanya sambil duduk di ruang tengah disebelahku.
                “ Iya, nanti siang jam satuan lah dia bakal pulang dulu buat ngeliat aku masih hidup atau enggak. “ candaku pad Amy.
                “ Ih kamu, gak lucu banget sih bercandanya! “ kata Amy kesal dan kaget.
                Aku tertawa melihat ekspresinya yang kesal, marah, dan geli juga. Ekspresi wajah yang selalu dilontarkan oleh Fahrin kepadaku. “ Kamu udah sarapan belum? “ tanyaku sambil mengusap-usap kepalanya penuh sayang.
                “ Belum. Kok kamu tahu sih? “ tanyanya heran.
                “ Fahrin bikin roti panggang banyak tuh. Yuk sarapan dulu. “ ajakku sambil menarik lembut tangannya menuju meja makan.
                Amy mulai makan dengan semangat. Aku ikut mengunyah roti panggang yang tersisa di meja makan.
                “ Fahrin hebat ya. Bikin roti panggang gini aja enak. Kamu beruntung banget punya kakak kayak dia. Sayang banget sama adiknya yang nyebelin ini. “ kata Amy bercanda.
                Aku mencubit pipinya yang halus dan mulus. Setelah sarapan, aku menonton televisi dengan Amy.
                “ Ayah sama ibu kamu pulangnya kapan? “ tanya Amy.
                “ Masih lama, tiga minggu dari sekarang lah. “ kataku sambil menatap layar televisi. Sebetulnya aku masih ingin tidur, karena mataku ini rasanya lengket sekali ingin dipejamkan, tapi aku tahan dulu untuk Amy. “ Aku mau mandi dulu ya. “ kataku sambil bangkit dari sofa.
                “ Kamu belum mandi dari tadi? Ih jorok! “ kata Amy sambil mencubit tanganku, aku tertawa mendengar ucapannya dan segera pergi mandi. Setelah mandi rasanya segar sekali, tubuhku rasanya kembali seperti baru lahir lagi. Ketika berpakaian, aku melihat jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat lima belas menit. Aku pikir masih pukul setengah sepuluh.
                Ketika aku kembali menghampiri Amy di ruang tengah, kulihat dia tampak sedang khawatir dan panik.
                “ Sayang, ternyata aku ada kuliah mendadak jam sebelas nih, kalo aku pulang sekarang gak apa-apa? “ tanya Amy ketika aku duduk disampingnya di sofa.
                “ Ya udah gak apa-apa, makasih banyak ya udah nemenin aku. “ kataku sambil mencium pipinya yang sedikit tembam dan halus itu. Dia beranjak dari sofa sambil mengambil tasnya, lalu berjalan keluar rumah. Ketika melihat mobilnya meluncur pergi, aku merasakan hal yang selalu aku rasakan kalau melihat Fahrin pergi. Amy adalah perempuan paling cantik ketiga di dunia ini, setelah ibu dan Fahrin. Aku mendapatkan banyak kenyamanan dengan Amy. Sudah empat tahun dua bulan aku bersama-sama dengannya, sejak kelas sembilan SMP. Ketika mencari kekasih, aku ingin kekasihku nanti secantik, selembut, dan sehalus ibu, tetapi harus semanis, setegar, dan setegas Fahrin. Dan ternyata aku menemukan sosok itu pada Amy, bahkan lebih. Ketika Fahrin terkadang mendidikku terlalu keras, Amy bisa mengimbanginya dengan merangkul lembut diriku. Tetapi kalau Amy sedang cengeng dan kelewat manja, Fahrin bisa menghiburku kalau itu hanya untuk sejenak saja, kalau Amy besok hari sudah baik kembali.
                Aku berjalan kembali menuju kamarku yang sedikit rapi karena Fahrin merapikan kamarku tadi malam. Aku merebahkan tubuhku di dalam selimut yang hangat, menunggu jam satu ketika Fahrin pulang dan sudah membuat makan siang untuk kami.
                                                                                                * * *
                Rasanya baru semenit yang lalu aku memejamkan mataku ketika ada yang mengusap-usap kepalaku.
                “ No, bangun dulu. Makan siang terus minum obat ya. “ kata Fahrin lembut, lalu beranjak dari kamarku.
                Aku mengusap-usap mataku dan melihat jam di ponsel, sudah jam setengah dua. Aku bangun dengan perlahan, dan berjalan menuju ruang makan. Di meja makan, sudah ada nasi putih yang masih berasap dan harum pandan, sayur bening kesukaan kami berdua, dan obat-obatanku yang sudah tersaji.
                Kami mulai makan. Hari ini masakan Fahrin terasa lebih enak daripada biasanya. Masakan Fahrin terkadang terlalu asin, tapi tak jarang juga kurang garam sehingga aku harus menambahkan garam beberapa kali.
                “ Gimana, enak gak masakan aku? Tumben kamu gak nambahin garem kayak kemaren-kemaren? “ tanya Fahrin ketika kami sudah selesai makan.
                “ Enak kok, hebat kamu sekarang masaknya. “ kataku sambil mulai meminum obat-obatanku yang banyak itu. Ketika aku melihat jam di ruang tengah, sudah pukul dua lewat lima belas menit.
“ Kamu mau ke kampus jam berapa? “ tanyaku pada Fahrin yang sedang melihat ponselnya.
                “ Nanti deh jam setengah tiga. “ kata fahrin masih menatap ponselnya.
                “ Oh emang kamu nyampe kesini jam berapa tadi? “ tanyaku lagi.
                Fahrin diam sebentar, lalu meletakkan ponselnya di meja makan, “ sekitar jam dua belas lah. Pas aku nyampe kamu lagi tidur, ya udah aku masak dulu tadi. Oh iya, Amy pulang jam berapa tadi? “ tanya Fahrin padaku.
                “ Jam sepuluh lewat lima belas lah, soalnya dia ada kuliah dadakan. Eh, kata kamu Novak mau dateng jam berapa nanti sore? “ tanyaku tentang Novak.
                “ Jam empat jadinya. Barusan dia SMS aku, katanya jam empat sampe sini, terus aku udah bilang ada kamu ya di rumah, jadi kamu jangan keluyuran oke. “ kata Fahrin memperingatkan.
                “ Iya iya. “ kataku setengah nyengir padanya.
                Fahrin beranjak dari kursi dan melihat jam tangannya, “ aku pergi sekarang aja ya, pasti kejebak macet dulu di jalan. Hati-hati di rumah ya. “.
                “ Oke. “ kataku sambil berdiri juga dan berjalan masuk kamar ketika aku mendengar suara pintu menutup dari depan rumah, lalu suara deru motor Fahrin yang perlahan menghilang. Sambil menunggu Novak datang, aku membuka laptop dan main game online. Saat sedang seru-serunya, terdengar suara ketukan pintu depan. Aku kaget dan refleks melihat jam dinding, ternyata sudah pukul empat. Aku berjalan keluar dan membukakan pintu depan.
               
               
                

Fahrina


Minggu yang suram, mendung, dan dingin karena sudah hujan sejak pagi tadi. Hari ini aku hanya berdua saja dengan kembaranku yang hanya berbeda lima menit denganku, Fahrino Novan Ibrahim. Ayah dan ibu sedang pergi ke Jerman karena katanya proyek ayah yang disana sedang ada sedikit masalah dan Ayah meminta Ibu menemaninya selama tiga minggu disana. Semalam sebelum Ayah dan Ibu berangkat, aku sempat protes kenapa aku di tinggal hanya berdua dengan Rino, adik kembarku yang berbeda lima menit itu. Ayah, yang sangat sabar meski bertubi-tibu masalah tengah membebaninya masih tetap bisa menenangkan hatiku, berkata kalau aku pasti bisa merawat dan mengurus Rino sebaik ibu mengurusnya.
Oh ya, aku belum menceritakan kenapa aku sampai protes ketika harus ditinggalkan dengan Rino berdua selama tiga minggu. Rino sering mengeluh sakit kepala, mual, hingga suatu ketika dia pernah memuntahkan darah segar dari mulutnya kepangkuanku ketika dia mengeluhkan sakitnya padaku ketika Ayah dan Ibu sedang menghadiri suatu jamuan makan malam resmi saat kami kelas dua SMA. Ayah dan Ibu tak sampai hati memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi padanya, bahkan padaku juga. Jadi, selama ini aku hanya bisa menerka-nerka penyakit saudaraku ini. Saat ini, aku, Fahrina Dina Amaranti, sedang menikmati sarapan sederhana dengan secangkir coklat hangat dan sepotong roti panggang polos setelah tadi jam lima subuh terbangun karena Rino berteriak-teriak kesakitan dan mulutnya kembali mengeluarkan cairan merah hitam yang berbau amis itu. Aku hanya bisa memeluknya dan memberikan obat yang diberikan ibu jika penyakitnya kambuh. Sesekali aku membisikkan asma Allah dengan harapan dia bisa tenang.
                “ Rin, kepalaku sakit banget, perutku rasanya mau meledak. “ ratap Rino sambil terbatuk-batuk menahan sakit.
                “ Tenang, No. Kamu pasti tahan. Obatnya belum bereaksi, kan? Kalo udah bereaksi pasti sakitnya reda. “ kataku bingung luar biasa, putus asa mencari kata-kata yang bisa menenangkan Rino. Aku hanya bisa memeluknya, mendekapnya didadaku, berharap sakitnya bisa berkurang, berharap aku bisa meredakan sakit yang sedang dirasakannya.
                “ Rin? “ panggil seseorang dari arah belakangku.
                Aku meletakkan roti panggangku dan menoleh kebelakang. “ No, kok kamu jalan-jalan? “ tanyaku heran saat bagian dari diriku yang lain ini menghampiriku.
                “ Dadaku sesek kebanyakan diem di kamar. Sumpek sumpahnya. “ katanya sambil duduk di kursi meja makan diseberangku.
                Kulihat wajahnya masih sangat pucat, kantung mata hitam menggelayut membayangi matanya, dan ada noda darah yang mengering pada pipi kanannya dan piamanya. Banyak teman-temannya yang menyebutnyan tampan dan putih, tapi menurutku dia biasa-biasa saja.
                “ Pasti kamu lapar. Bentar ya, aku siapin makan ma obat kamu dulu. “ kataku sambil beranjak karena aku kaget sekarang sudah jam sebelas siang, saatnya Rino minum obat. Aku segera sibuk di depan kompor, menyiapkan bubur ayam yang kumasak tadi pagi sementara Rino, aku punya firasat aneh, sedang memandangiku dari belakang. 
                “ Nih makan dulu, aku ambil obat kamu dulu di kamar. “ kataku sambil memberikan semangkuk bubur panas pada Rino.
                “ Ih, yang bener aja lu, Rin. Masa lu kasih gue bubur yang baru banget mendidih? “ kata Rino, mulai kumat menyebalkannya.
                “ Eh lu, udah cepet makan sana, kagak usah banyak bacot dulu. “ kataku kesal sambil berjalan menuju kamar Rino.
                Ketika aku memasuki kamar Rino, benar saja, disini pengap sekali. Ketika kubuka tirai berwarna kuning muda dan cahaya matahari mulai menerangi, kulihat betapa kacaunya kamar ini. Pelan-pelan, kurapikan pakaian-pakaian Rino, buku-bukunya, tas-tasnya, dan ketika kulihat bekas darah yang mulai mengering di lantai subuh tadi, mengingatkanku untuk membersihkannya nanti siang. Segera kuambil obat-obatan Rino dan kembali ke meja makan.
                “ Nih udah aku abisin, mana obatnya sekarang? “ tagih Rino padaku yang baru saja datang.
                “ Beneran lu abisin, kan? Awas aja kalo lu buang. “ ancamku padanya sambil mengangsurkan obat-obatnya padanya, lalu mengambilkannya segelas air bening.
                Rino sibuk meminum obat-obatnnya, di awasi oleh aku. Rupanya dia tak menyadari bahwa ada darah mengering di pipi kanannya.
                “ Ngeliatin apaan sih lu? Gue ganteng ya? “ tanya Rino kepedean.
                ” Anjrit, itu ada darah ngering di pipi lu, No. Lu inget kagak tadi subuh lu muntah darah lagi? Sini gue bersihin dulu. “ kataku kesal.
                “ Mana? Tolong bersihin. “ kata Rino sambil mengangkat pipi kanannya minta aku bersihkan. Aku mulai membersihkan pipinya dengan tanganku.
                “ Tuh udah bersih tuh. Liat aja sendiri kalo gak percaya. “ kataku ketika wajah Rino sudah bersih dari darah yang mengering.
                Rino menguap lebar, “ Aku mau tidur lagi. “ kata Rino sambil beranjak dari meja makan.
                “ Ya udah tidur sana. “ kataku sambil membereskan bekas makan Rino dan obat-obatannya. Ketika aku sedang mencuci piring dan gelas kotor yang menumpuk di bak cuci piring, pikiranku melayang-layang pada kenangan burukku dengan Rino ketika penyakit Rino kambuh. Itu adalah kali pertamanya aku ditinggalkan berdua dengan Rino di rumah-hari ini kali kedua aku hanya berdua dengan Rino di rumah, sebelumnya selalu ada Bibi atau Paman kami yang menemani kami. Saat itu sedang liburan kenaikan kelas dari kelas dua SMA ke kelas tiga SMA. Ayah dan Ibu harus menghadiri sebuah jamuan makan malam resmi kolega ayah. Aku, yang masih anak SMA, belum pernah menangani Rino yang sedang kambuh penyakitnya, mengiyakan saja ketika Ayah dan Ibu bilang padaku kalau aku akan berdua saja dengan Rino untuk semalam. Waktu itu Ayah dan Ibu pergi pada petang hari. Seharian Rino tertidur, dan aku pun sibuk di depan laptop sambil sesekali mengecek Rino yang tertidur dikamarnya. Malam hari, setelah memasak makan malam, mendadak terjadi hal yang paling tidak akan aku lupakan seumur hidupku.
                “ Fahrin! “ teriak Rino kencang, disusul oleh suara Rino yang terbatuk-batuk dan muntah.
                “ Rino! AAAAAAAAAAAAHHHHH! “ jeritku panik, histeris, karena di lantai sudah ada darah kehitaman berbau amis yang menyesakkan memenuhi lantai sementara ke dua tangan, mulut, dan piama yang Rino pakai waktu itu penuh dengan darah. Dengan panik aku mencari-cari obat Rino, sambil mendekap Rino yang sangat kesakitan. “ Ini minum obatnya, No! “ kataku panik.
                “ Gak mau! Aku udah bosen minum obat! “ kata Rino ditengah sakitnya.
                “ Jadi, obat yang aku kasih tadi siang gak kamu minum? “ kataku tersengat amarah.
                “ Aku bosen minum obat terus, Rin, aku juga pengen kayak kamu yang gak pernah minum obat! “ sengat Rino menyayat hatiku.
                Hatiku sakit sekali mendengar Rino berkata demikian. Kalau Tuhan mengizinkan, aku pun ikhlas jika aku harus berbagi penyakit denganmu, ikhlas jika aku harus menderita sepertimu, ikhlas jika aku harus meminum seluruh obat-obatan yang menakutkan itu.
Aku hanya bisa menangis dan memeluk Rino yang masih muntah darah erat-erat. Aku menyadari kalau dadaku terasa basah dan lengket oleh darah. “ No, kamu ngomong gitu jadi bikin aku tambah sedih. Sekarang kamu minum obat kamu dulu ya. “ isakku pedih.
“ Ya udah kalo itu bisa ngurangin sedihnya kamu. “ kata Rino tak jelas menahan darah yang terus keluar dari mulutnya.

Aku mengelap tanganku sedikit pada celana pendekku dan mulai meminumkan obat pada Rino. Setelah minum obat, yang untungnya bisa diterima oleh tubuh Rino. Aku masih terus mengisak ketika aku membaringkan Rino.
“ Rin, maafin omongan aku tadi, ya. Aku gak maksud bikin kamu sedih. “ kata Rino pelan.
Aku yang sedang mengelap tangan Rino menatap Rino. “ Aku ngerti, No. Gak apa-apa kamu ngomong gitu sama aku. Aku pun bakal ngomong gitu kalau aku jadi kamu. “ kataku sambil beralih mengelap mulut dan pipi Rino. Kemudian kami saling berdiam diri. Setelah membersihkan tangan dan wajah Rino, aku menggantikan piama Rino dengan yang baru. Saat aku sedang mengambilkan piama baru Rino di lemari, aku merasa kalau Rino sedang menatapku.
“ Makasih udah jadi kakak yang baik buat aku. “ kata Rino ketika aku sedang menggantikan piamanya.
Aku tersenyum, “ yah, ini udah jadi tugas aku, No. “ kataku bingung hendak menjawab apa.
“ Sekarang kamu tidur, ya. “ kataku lagi pada Rino. Rino menurutiku dan memejamkan matanya. Setelah melihat Rino memejamkan matanya, aku segera sibuk membersihkan darah yang berceceran di lantai, mengganti bajuku, dan mencuci semua yang terkena noda darah. Setelah selesai, aku memutuskan untuk tidur di kamar Rino, takut kalau-kalau dia kambuh kembali. Aku tak akan menunggu Ayah dan Ibu pulang, karena waktu itu sudah pukul dua belas malam. Aku tidur menghadap ke punggung Rino, memeluknya dari belakang, melindungi tubuhnya yang lemah agar tak kedinginan. Yang aku ingat, ketika terbangun keesokan paginya, Rino sudah tidur menghadapku, memelukku, dengan napasnya yang berhembus disekitar wajahku.
                “ Rin? “ panggil Rino dari jauh.
                “ Ya? “ balasku sambil berjalan menuju kamar Rino. Aku melangkah memasuki kamar Rino. Ketika aku menatap Rino yang sedang terbaring berselimut di ranjang , dia tampak sedikit sedih. Aku duduk didekatnya. “ Kenapa, No? “ tanyaku pelan.
                Rino tidak langsung menjawab pertanyaanku, dia masih tampak sedih. “ Kamu, gak suka ya, Cuma berdua sama aku di rumah ini? “ tanya Rino membuat jantungku rasanya bocor.
                Aku hanya bisa terdiam, terpaku, rasanya seperti jatuh terbenam ke dalam ketakutanku yang paling dalam. Selama ini aku menyembunyikan ketidaksukaanku jika ditinggal hanya berdua dengannya. Aku terus mematung, menunggu kata-kata Rino yang lainnya.
                “ Kamu gak suka kita berdua aja di rumah buat tiga minggu kedepan ini? “ tanya Rino lagi, sekarang sedikit dingin.
                Lagi-lagi aku hanya terpaku, kehilangan kata-kata yang biasanya lancar sekali keluar dari mulutku.
                “ Aku ngedenger omongan kamu sama Ayah dan Ibu tadi malam. Semua omongan kamu tentang kamu takut berdua aja sama aku, kamu ngeri kalau penyakit aku kambuh lagi dan kamu gak bisa ngobatinnya, ketakutan kamu juga sama besarnya kayak ketakutan aku yang takut mati sewaktu-waktu, Rin. “ kata Rino masih dingin.
                Aku hanya bisa menatap Rino dengan kosong dan berusaha agar air mataku tidak meleleh dihadapannya.
                “ Kalau kamu mau tau, ada kamu disamping aku aja rasanya udah jauh lebih baik, Rin. “ kata Rino pelan.
                Akhirnya aku mengalah pada air mata. Rasanya saat itu aku seperti terjeblos ke dalam es yang dingin sekali. Mendadak, Rino bangun dan memelukku. Aku menangis di dalam dadanya.                        “ Maaf banget, No, aku maksud ngomong gitu selama ini. Aku cuma takut kalau kamu mati gara-gara aku. “ isakku pedih sekali.
                Rino mengusap-usap punggungku dengan sayang, “ kita datang ke dunia ini berdua, jadi kita harus pergi dari dunia ini berdua juga. Aku akan terus bertahan hidup buat kamu,Ibu, Ayah, semuanya pokoknya. “ bisiknya ditelingaku.
                Aku terus menangis, semua yang aku rasakan selama sembilan belas tahun ini tumpah ruah semuanya. Rino terus mengusap-usap punggungku, air mataku telah membasahi dadanya.
                “ Maafin semua omongan aku barusan, Rin. Aku gak maksud bikin kamu jadi sedih. Maaf banget. “ kata Rino sambil mengusap air mata dipipiku. “ Aku harap kamu gak pernah bosen ngurusin aku, nemenin aku, sama ngejagain aku, ya. “ bisiknya ditelingaku.
                Aku mengangkat mukaku, menatapnya dengan mata yang terasa berat dan perih, pasti mataku bengkak dan merah. “ Udah, sekarang kamu tidur lagi, No. Nanti malem aku bangunin lagi ya buat minum obat. “ kataku pelan dan sengau, lalu menyelimuti Rino, kemudian meninggalkan kamar Rino. Sambil berjalan, aku sibuk mengusap mataku, kembali meneruskan pekerjaanku mencuci piring, menyapu, mengepel, dan mencuci pakaianku dan Rino. Sambil mencuci pakaian, aku terus memikirkan Rino dan ucapannya tadi. Akhirnya pekerjaanku selesai ketika jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Setelah itu aku memasak makan malam dan menyiapkan obat-obatan Rino. Selesai semuanya, aku tinggal menunggu Rino bangun. Sambil menunggunya bangun, aku memilih untuk menelepon pacarku, yang tampan berkulit putih, sedikit gemuk, dan bermata tajam menusuk, Novak.
                “ Halo, Novak, kamu lagi di mana? “ tanyaku ketika Novak menjawab teleponku.
                “ Aku lagi di rumah, baru aja mau telepon kamu. Kamu di mana? “ tanyanya balik.
                “ Di rumah aku juga, ngejagain Rino. “ kataku lagi.
                “ Oh iya, gimana kabarnya Rino? Sehat? Gak kambuh lagi? “ tanya Novak.
                “ Untungnya lagi sehat. Tapi tetep aja pucet. Aku pantau terus obatnya, soalnya kalo sekali gak minum obat penyakitnya pasti langsung kambuh. “ jawabku lagi.
                “ Udah lama aku gak maen ke rumah. Besok pulang kuliah aku ke rumah ya? “ kata Novak.
                “ Oke, SMS aja ya. Eh gimana Tugas Akhir kamu? Lancar? “ tanyaku padanya, teringat pada Tugas Akhir yang sedang disusunnya.
                “ Yah syukur sih lancar. Semoga Rino sehat-sehat aja ya Sayang. “ kata Novak baik hati.
                “ Oh sip sip, oh iya, udah dulu ya, dia kayaknya udah mau bangun. Nanti di sambung lagi. Bye. “ kataku menyudahi pembicaraan.
                “ I love you. “ kata Novak menyudahi pembicaraan.
Telepon pun berakhir. Sekilas aku seperti mendengar suara Rino bangun. Dan ternyata memang benar, dia keluar dari kamarnya dengan wajah mengantuk dan rambut acak-acakan. Tanpa kata-kata dia langsung menuju meja makan dan mulai makan. 
                Karena lapar, aku pun ikut makan, mengingat makanan yang masuk ke dalam tubuhku hari ini hanya secangkir coklat dan roti panggang. Ketika kami selesai makan, Rino dengan baiknya langsung meminum obatnya dengan tekun. Setelah meminum obatnya, Rino mulai membuka obrolan.
                “ Besok kamu kuliah pagi? “ tanyanya ringan.
                “ Iya, aku besok seharian di kampus, dari jam tujuh pagi sampe jam lima sore. Tapi aku bakal sempetin buat pulang dulu jam satu bikinin kamu makan siang, soalnya jam sepuluh sampe jam tiga gak ada dosen. Besok, Amy dateng gak nemenin kamu? “ aku menanyakan apakah pacar Rino, Amy, akan menemaninya saat aku sedang kuliah.
                “ Iya, tenang aja, dia bakal nemenin aku seharian, katanya kuliahnya dia lagi libur buat besok. “ kata Rino lagi. “ Oh ya, udah lama aku gak liat Novak. Dia sibuk banget ya sama Tugas Akhir-nya? “ tanya Rino mendadak.
                “ Iya, barusan sebelum kamu bangun aku nelepon dia dulu, katanya besok pulang kuliah dia mau main kesini. “ kataku teringat percakapanku dengan Novak barusan. “ Eh, kamu mandi dulu sana, jorok ih ga mandi seharian. “ kataku kaget sendiri.
                “ Mandiin. “ kata Rino tiba-tiba manja padaku.
                “ Hiiiiiiii, anjrit lu, geli ih, hiiiiiiiiiiiiiii. “ ringisku ngeri sambil beranjak dari meja makan dan menuju kamar mandi untuk menyiapkan air hangat untuk Rino mandi. Sambil menunggu bathub terisi penuh, aku memain-mainkan air hangat yang mulai memenuhi bathub.           
                “ Fahrin! “ panggil Rino membuyarkan lamunanku.
                Aku hampir saja terjatuh kedalam bathub karena kaget, lalu aku berdiri, mematikan keran air, dan setengah berlari menghampiri Rino di ruang tengah. Di sana betapa kagetnya aku ketika melihat dia meringkuk di atas karpet di lantai sedang memegangi kepalanya, menahan sakit yang teramat sangat. Aku langsung menarik tubuhnya ke atas sofa dan membaringkannya, lalu aku berlari-lari menuju kamarnya dan mencarikannya obatnya yang lain yang tadi tidak diminumnya, obat yang hanya di minum dalam keadaan gawat darurat. Ketika aku kembali ke ruang tengah Rino masih saja meringkuk kesakitan di sofa.
                “ Fahrin kenapa kepala aku sakit banget? “ tanya Rino menahan sakit.
                Aku hanya bisa sibuk dengan obat Rino, lalu aku meminumkannya  pada Rino sambil berdoa dengan sepenuh hati sakit dikepalanya akan hilang. Rino masih mengeluh kesakitan, dia hanya bisa mengerang dan mengerang. Aku, belahan jiwanya, hanya bisa mendekapnya erat-erat, berharap aku bisa mengurangi rasa sakitnya. Tuhan, walau hanya sedetik, aku ingin bisa berbagi rasa sakit dengannya, ingin melihatnya sehat seperti yang lainnya, ingin mengurangi rasa sakit yang menderanya.