Minggu yang suram, mendung, dan dingin karena sudah
hujan sejak pagi tadi. Hari ini aku hanya berdua saja dengan kembaranku yang
hanya berbeda lima menit denganku, Fahrino Novan Ibrahim. Ayah dan ibu sedang
pergi ke Jerman karena katanya proyek ayah yang disana sedang ada sedikit
masalah dan Ayah meminta Ibu menemaninya selama tiga minggu disana. Semalam
sebelum Ayah dan Ibu berangkat, aku sempat protes kenapa aku di tinggal hanya
berdua dengan Rino, adik kembarku yang berbeda lima menit itu. Ayah, yang sangat
sabar meski bertubi-tibu masalah tengah membebaninya masih tetap bisa
menenangkan hatiku, berkata kalau aku pasti bisa merawat dan mengurus Rino
sebaik ibu mengurusnya.
Oh ya, aku belum menceritakan kenapa aku sampai
protes ketika harus ditinggalkan dengan Rino berdua selama tiga minggu. Rino
sering mengeluh sakit kepala, mual, hingga suatu ketika dia pernah memuntahkan
darah segar dari mulutnya kepangkuanku ketika dia mengeluhkan sakitnya padaku
ketika Ayah dan Ibu sedang menghadiri suatu jamuan makan malam resmi saat kami
kelas dua SMA. Ayah dan Ibu tak sampai hati memberitahukan apa yang sebenarnya
terjadi padanya, bahkan padaku juga. Jadi, selama ini aku hanya bisa menerka-nerka
penyakit saudaraku ini. Saat ini, aku, Fahrina Dina Amaranti, sedang menikmati
sarapan sederhana dengan secangkir coklat hangat dan sepotong roti panggang
polos setelah tadi jam lima subuh terbangun karena Rino berteriak-teriak
kesakitan dan mulutnya kembali mengeluarkan cairan merah hitam yang berbau amis
itu. Aku hanya bisa memeluknya dan memberikan obat yang diberikan ibu jika
penyakitnya kambuh. Sesekali aku membisikkan asma Allah dengan harapan dia bisa
tenang.
“ Rin, kepalaku
sakit banget, perutku rasanya mau meledak. “ ratap Rino sambil terbatuk-batuk
menahan sakit.
“ Tenang, No.
Kamu pasti tahan. Obatnya belum bereaksi, kan? Kalo udah bereaksi pasti
sakitnya reda. “ kataku bingung luar biasa, putus asa mencari kata-kata yang
bisa menenangkan Rino. Aku hanya bisa memeluknya, mendekapnya didadaku,
berharap sakitnya bisa berkurang, berharap aku bisa meredakan sakit yang sedang
dirasakannya.
“ Rin? “ panggil
seseorang dari arah belakangku.
Aku meletakkan
roti panggangku dan menoleh kebelakang. “ No, kok kamu jalan-jalan? “ tanyaku
heran saat bagian dari diriku yang lain ini menghampiriku.
“ Dadaku sesek
kebanyakan diem di kamar. Sumpek sumpahnya. “ katanya sambil duduk di kursi
meja makan diseberangku.
Kulihat wajahnya
masih sangat pucat, kantung mata hitam menggelayut membayangi matanya, dan ada
noda darah yang mengering pada pipi kanannya dan piamanya. Banyak
teman-temannya yang menyebutnyan tampan dan putih, tapi menurutku dia
biasa-biasa saja.
“ Pasti kamu
lapar. Bentar ya, aku siapin makan ma obat kamu dulu. “ kataku sambil beranjak
karena aku kaget sekarang sudah jam sebelas siang, saatnya Rino minum obat. Aku
segera sibuk di depan kompor, menyiapkan bubur ayam yang kumasak tadi pagi
sementara Rino, aku punya firasat aneh, sedang memandangiku dari belakang.
“ Nih makan dulu,
aku ambil obat kamu dulu di kamar. “ kataku sambil memberikan semangkuk bubur
panas pada Rino.
“ Ih, yang bener
aja lu, Rin. Masa lu kasih gue bubur yang baru banget mendidih? “ kata Rino,
mulai kumat menyebalkannya.
“ Eh lu, udah
cepet makan sana, kagak usah banyak bacot dulu. “ kataku kesal sambil berjalan
menuju kamar Rino.
Ketika aku
memasuki kamar Rino, benar saja, disini pengap sekali. Ketika kubuka tirai
berwarna kuning muda dan cahaya matahari mulai menerangi, kulihat betapa
kacaunya kamar ini. Pelan-pelan, kurapikan pakaian-pakaian Rino, buku-bukunya,
tas-tasnya, dan ketika kulihat bekas darah yang mulai mengering di lantai subuh
tadi, mengingatkanku untuk membersihkannya nanti siang. Segera kuambil
obat-obatan Rino dan kembali ke meja makan.
“ Nih udah aku
abisin, mana obatnya sekarang? “ tagih Rino padaku yang baru saja datang.
“ Beneran lu
abisin, kan? Awas aja kalo lu buang. “ ancamku padanya sambil mengangsurkan
obat-obatnya padanya, lalu mengambilkannya segelas air bening.
Rino sibuk
meminum obat-obatnnya, di awasi oleh aku. Rupanya dia tak menyadari bahwa ada
darah mengering di pipi kanannya.
“ Ngeliatin apaan
sih lu? Gue ganteng ya? “ tanya Rino kepedean.
” Anjrit, itu ada
darah ngering di pipi lu, No. Lu inget kagak tadi subuh lu muntah darah lagi?
Sini gue bersihin dulu. “ kataku kesal.
“ Mana? Tolong
bersihin. “ kata Rino sambil mengangkat pipi kanannya minta aku bersihkan. Aku
mulai membersihkan pipinya dengan tanganku.
“ Tuh udah bersih
tuh. Liat aja sendiri kalo gak percaya. “ kataku ketika wajah Rino sudah bersih
dari darah yang mengering.
Rino
menguap lebar, “ Aku mau tidur lagi. “ kata Rino sambil beranjak dari meja
makan.
“ Ya
udah tidur sana. “ kataku sambil membereskan bekas makan Rino dan
obat-obatannya. Ketika aku sedang mencuci piring dan gelas kotor yang menumpuk
di bak cuci piring, pikiranku melayang-layang pada kenangan burukku dengan Rino
ketika penyakit Rino kambuh. Itu adalah kali pertamanya aku ditinggalkan berdua
dengan Rino di rumah-hari ini kali kedua aku hanya berdua dengan Rino di rumah,
sebelumnya selalu ada Bibi atau Paman kami yang menemani kami. Saat itu sedang
liburan kenaikan kelas dari kelas dua SMA ke kelas tiga SMA. Ayah dan Ibu harus
menghadiri sebuah jamuan makan malam resmi kolega ayah. Aku, yang masih anak
SMA, belum pernah menangani Rino yang sedang kambuh penyakitnya, mengiyakan
saja ketika Ayah dan Ibu bilang padaku kalau aku akan berdua saja dengan Rino
untuk semalam. Waktu itu Ayah dan Ibu pergi pada petang hari. Seharian Rino
tertidur, dan aku pun sibuk di depan laptop sambil sesekali mengecek Rino yang
tertidur dikamarnya. Malam hari, setelah memasak makan malam, mendadak terjadi
hal yang paling tidak akan aku lupakan seumur hidupku.
“
Fahrin! “ teriak Rino kencang, disusul oleh suara Rino yang terbatuk-batuk dan
muntah.
“ Rino!
AAAAAAAAAAAAHHHHH! “ jeritku panik, histeris, karena di lantai sudah ada darah
kehitaman berbau amis yang menyesakkan memenuhi lantai sementara ke dua tangan,
mulut, dan piama yang Rino pakai waktu itu penuh dengan darah. Dengan panik aku
mencari-cari obat Rino, sambil mendekap Rino yang sangat kesakitan. “ Ini minum
obatnya, No! “ kataku panik.
“ Gak
mau! Aku udah bosen minum obat! “ kata Rino ditengah sakitnya.
“ Jadi,
obat yang aku kasih tadi siang gak kamu minum? “ kataku tersengat amarah.
“ Aku
bosen minum obat terus, Rin, aku juga pengen kayak kamu yang gak pernah minum
obat! “ sengat Rino menyayat hatiku.
Hatiku
sakit sekali mendengar Rino berkata demikian. Kalau Tuhan mengizinkan, aku pun
ikhlas jika aku harus berbagi penyakit denganmu, ikhlas jika aku harus
menderita sepertimu, ikhlas jika aku harus meminum seluruh obat-obatan yang
menakutkan itu.
Aku hanya bisa menangis dan memeluk
Rino yang masih muntah darah erat-erat. Aku menyadari kalau dadaku terasa basah
dan lengket oleh darah. “ No, kamu ngomong gitu jadi bikin aku tambah sedih.
Sekarang kamu minum obat kamu dulu ya. “ isakku pedih.
“ Ya udah kalo itu bisa ngurangin
sedihnya kamu. “ kata Rino tak jelas menahan darah yang terus keluar dari
mulutnya.
Aku mengelap tanganku sedikit pada
celana pendekku dan mulai meminumkan obat pada Rino. Setelah minum obat, yang
untungnya bisa diterima oleh tubuh Rino. Aku masih terus mengisak ketika aku
membaringkan Rino.
“ Rin, maafin omongan aku tadi, ya.
Aku gak maksud bikin kamu sedih. “ kata Rino pelan.
Aku yang sedang mengelap tangan Rino
menatap Rino. “ Aku ngerti, No. Gak apa-apa kamu ngomong gitu sama aku. Aku pun
bakal ngomong gitu kalau aku jadi kamu. “ kataku sambil beralih mengelap mulut
dan pipi Rino. Kemudian kami saling berdiam diri. Setelah membersihkan tangan
dan wajah Rino, aku menggantikan piama Rino dengan yang baru. Saat aku sedang
mengambilkan piama baru Rino di lemari, aku merasa kalau Rino sedang menatapku.
“ Makasih udah jadi kakak yang baik
buat aku. “ kata Rino ketika aku sedang menggantikan piamanya.
Aku tersenyum, “ yah, ini udah jadi
tugas aku, No. “ kataku bingung hendak menjawab apa.
“ Sekarang kamu tidur, ya. “ kataku lagi pada Rino. Rino
menurutiku dan memejamkan matanya. Setelah melihat Rino memejamkan matanya, aku
segera sibuk membersihkan darah yang berceceran di lantai, mengganti bajuku,
dan mencuci semua yang terkena noda darah. Setelah selesai, aku memutuskan
untuk tidur di kamar Rino, takut kalau-kalau dia kambuh kembali. Aku tak akan
menunggu Ayah dan Ibu pulang, karena waktu itu sudah pukul dua belas malam. Aku
tidur menghadap ke punggung Rino, memeluknya dari belakang, melindungi tubuhnya
yang lemah agar tak kedinginan. Yang aku ingat, ketika terbangun keesokan
paginya, Rino sudah tidur menghadapku, memelukku, dengan napasnya yang
berhembus disekitar wajahku.
“ Rin?
“ panggil Rino dari jauh.
“ Ya? “
balasku sambil berjalan menuju kamar Rino. Aku melangkah memasuki kamar Rino.
Ketika aku menatap Rino yang sedang terbaring berselimut di ranjang , dia
tampak sedikit sedih. Aku duduk didekatnya. “ Kenapa, No? “ tanyaku pelan.
Rino
tidak langsung menjawab pertanyaanku, dia masih tampak sedih. “ Kamu, gak suka
ya, Cuma berdua sama aku di rumah ini? “ tanya Rino membuat jantungku rasanya
bocor.
Aku
hanya bisa terdiam, terpaku, rasanya seperti jatuh terbenam ke dalam
ketakutanku yang paling dalam. Selama ini aku menyembunyikan ketidaksukaanku
jika ditinggal hanya berdua dengannya. Aku terus mematung, menunggu kata-kata
Rino yang lainnya.
“ Kamu
gak suka kita berdua aja di rumah buat tiga minggu kedepan ini? “ tanya Rino
lagi, sekarang sedikit dingin.
Lagi-lagi
aku hanya terpaku, kehilangan kata-kata yang biasanya lancar sekali keluar dari
mulutku.
“ Aku
ngedenger omongan kamu sama Ayah dan Ibu tadi malam. Semua omongan kamu tentang
kamu takut berdua aja sama aku, kamu ngeri kalau penyakit aku kambuh lagi dan
kamu gak bisa ngobatinnya, ketakutan kamu juga sama besarnya kayak ketakutan
aku yang takut mati sewaktu-waktu, Rin. “ kata Rino masih dingin.
Aku
hanya bisa menatap Rino dengan kosong dan berusaha agar air mataku tidak
meleleh dihadapannya.
“ Kalau
kamu mau tau, ada kamu disamping aku aja rasanya udah jauh lebih baik, Rin. “
kata Rino pelan.
Akhirnya
aku mengalah pada air mata. Rasanya saat itu aku seperti terjeblos ke dalam es
yang dingin sekali. Mendadak, Rino bangun dan memelukku. Aku menangis di dalam
dadanya. “
Maaf banget, No, aku maksud ngomong gitu selama ini. Aku cuma takut kalau kamu
mati gara-gara aku. “ isakku pedih sekali.
Rino
mengusap-usap punggungku dengan sayang, “ kita datang ke dunia ini berdua, jadi
kita harus pergi dari dunia ini berdua juga. Aku akan terus bertahan hidup buat
kamu,Ibu, Ayah, semuanya pokoknya. “ bisiknya ditelingaku.
Aku
terus menangis, semua yang aku rasakan selama sembilan belas tahun ini tumpah
ruah semuanya. Rino terus mengusap-usap punggungku, air mataku telah membasahi
dadanya.
“
Maafin semua omongan aku barusan, Rin. Aku gak maksud bikin kamu jadi sedih.
Maaf banget. “ kata Rino sambil mengusap air mata dipipiku. “ Aku harap kamu
gak pernah bosen ngurusin aku, nemenin aku, sama ngejagain aku, ya. “ bisiknya
ditelingaku.
Aku mengangkat
mukaku, menatapnya dengan mata yang terasa berat dan perih, pasti mataku
bengkak dan merah. “ Udah, sekarang kamu tidur lagi, No. Nanti malem aku
bangunin lagi ya buat minum obat. “ kataku pelan dan sengau, lalu menyelimuti
Rino, kemudian meninggalkan kamar Rino. Sambil berjalan, aku sibuk mengusap
mataku, kembali meneruskan pekerjaanku mencuci piring, menyapu, mengepel, dan
mencuci pakaianku dan Rino. Sambil mencuci pakaian, aku terus memikirkan Rino
dan ucapannya tadi. Akhirnya pekerjaanku selesai ketika jam sudah menunjukkan
pukul tujuh malam. Setelah itu aku memasak makan malam dan menyiapkan
obat-obatan Rino. Selesai semuanya, aku tinggal menunggu Rino bangun. Sambil
menunggunya bangun, aku memilih untuk menelepon pacarku, yang tampan berkulit
putih, sedikit gemuk, dan bermata tajam menusuk, Novak.
“ Halo,
Novak, kamu lagi di mana? “ tanyaku ketika Novak menjawab teleponku.
“ Aku
lagi di rumah, baru aja mau telepon kamu. Kamu di mana? “ tanyanya balik.
“ Di
rumah aku juga, ngejagain Rino. “ kataku lagi.
“ Oh
iya, gimana kabarnya Rino? Sehat? Gak kambuh lagi? “ tanya Novak.
“
Untungnya lagi sehat. Tapi tetep aja pucet. Aku pantau terus obatnya, soalnya
kalo sekali gak minum obat penyakitnya pasti langsung kambuh. “ jawabku lagi.
“ Udah
lama aku gak maen ke rumah. Besok pulang kuliah aku ke rumah ya? “ kata Novak.
“ Oke,
SMS aja ya. Eh gimana Tugas Akhir kamu? Lancar? “ tanyaku padanya, teringat
pada Tugas Akhir yang sedang disusunnya.
“ Yah
syukur sih lancar. Semoga Rino sehat-sehat aja ya Sayang. “ kata Novak baik
hati.
“ Oh
sip sip, oh iya, udah dulu ya, dia kayaknya udah mau bangun. Nanti di sambung
lagi. Bye. “ kataku menyudahi pembicaraan.
“ I
love you. “ kata Novak menyudahi pembicaraan.
Telepon pun berakhir. Sekilas aku
seperti mendengar suara Rino bangun. Dan ternyata memang benar, dia keluar dari
kamarnya dengan wajah mengantuk dan rambut acak-acakan. Tanpa kata-kata dia
langsung menuju meja makan dan mulai makan.
Karena
lapar, aku pun ikut makan, mengingat makanan yang masuk ke dalam tubuhku hari
ini hanya secangkir coklat dan roti panggang. Ketika kami selesai makan, Rino
dengan baiknya langsung meminum obatnya dengan tekun. Setelah meminum obatnya,
Rino mulai membuka obrolan.
“ Besok
kamu kuliah pagi? “ tanyanya ringan.
“ Iya,
aku besok seharian di kampus, dari jam tujuh pagi sampe jam lima sore. Tapi aku
bakal sempetin buat pulang dulu jam satu bikinin kamu makan siang, soalnya jam
sepuluh sampe jam tiga gak ada dosen. Besok, Amy dateng gak nemenin kamu? “ aku
menanyakan apakah pacar Rino, Amy, akan menemaninya saat aku sedang kuliah.
“ Iya,
tenang aja, dia bakal nemenin aku seharian, katanya kuliahnya dia lagi libur
buat besok. “ kata Rino lagi. “ Oh ya, udah lama aku gak liat Novak. Dia sibuk
banget ya sama Tugas Akhir-nya? “ tanya Rino mendadak.
“ Iya,
barusan sebelum kamu bangun aku nelepon dia dulu, katanya besok pulang kuliah
dia mau main kesini. “ kataku teringat percakapanku dengan Novak barusan. “ Eh,
kamu mandi dulu sana, jorok ih ga mandi seharian. “ kataku kaget sendiri.
“
Mandiin. “ kata Rino tiba-tiba manja padaku.
“
Hiiiiiiii, anjrit lu, geli ih, hiiiiiiiiiiiiiii. “ ringisku ngeri sambil
beranjak dari meja makan dan menuju kamar mandi untuk menyiapkan air hangat
untuk Rino mandi. Sambil menunggu bathub
terisi penuh, aku memain-mainkan air hangat yang mulai memenuhi bathub.
“
Fahrin! “ panggil Rino membuyarkan lamunanku.
Aku hampir
saja terjatuh kedalam bathub
karena kaget, lalu aku berdiri, mematikan keran air, dan setengah berlari
menghampiri Rino di ruang tengah. Di sana betapa kagetnya aku ketika melihat
dia meringkuk di atas karpet di lantai sedang memegangi kepalanya, menahan
sakit yang teramat sangat. Aku langsung menarik tubuhnya ke atas sofa dan
membaringkannya, lalu aku berlari-lari menuju kamarnya dan mencarikannya
obatnya yang lain yang tadi tidak diminumnya, obat yang hanya di minum dalam
keadaan gawat darurat. Ketika aku kembali ke ruang tengah Rino masih saja
meringkuk kesakitan di sofa.
“
Fahrin kenapa kepala aku sakit banget? “ tanya Rino menahan sakit.
Aku
hanya bisa sibuk dengan obat Rino, lalu aku meminumkannya pada Rino sambil berdoa dengan sepenuh hati
sakit dikepalanya akan hilang. Rino masih mengeluh kesakitan, dia hanya bisa
mengerang dan mengerang. Aku, belahan jiwanya, hanya bisa mendekapnya
erat-erat, berharap aku bisa mengurangi rasa sakitnya. Tuhan, walau hanya
sedetik, aku ingin bisa berbagi rasa sakit dengannya, ingin melihatnya sehat
seperti yang lainnya, ingin mengurangi rasa sakit yang menderanya.