Kamis, 22 Desember 2011

Sebuah Cerita Dari Arina Part 2

Saat Arina menatap mata Nicho lagi, kali ini lebih dalam dan entah karena memang seperti itu atau karena suasana hatinya menjadi galau karena takut ucapannya barusan menyinggung hati Nicho, Arina melihat ada kemarahan dan protes dari mata yang seperti elang dan tatapan yang tajam menusuk seperti sebilah sembilu itu. Arina kemudian memalingkan matanya lagi dari mata Nicho.
            “ Arina, Arina baik-baik aja? “ tanya Tante Maya pada Arina, tampak agak khawatir.
            “ Enggak, kok, Tante. Saya gak apa-apa. “ jawab Arina berusaha tersenyum.
            “ Nah, itu kuenya datang. Ayo kita makan. “ kata Om Edward saat Bi Anih datang membawa nampan yang berisi kue yang dibawa oleh Arina dan cangkir-cangkir mengepul.
            “ Ayo, Arina, kita makan ini sama-sama. Oh, kayaknya ini enak banget, ya. Makasih banyak, ya, Arina buat kuenya. “ kata Tante Maya sambil mengambil piring kecil yang baru saja diletakkan Bi Anih dihadapannya, lalu mulai mennyendok kue dan menyuapkannya kemulutnya.
            Arina, untuk sopan santun, ikut menyuap kue meskipun dia merasa perutnya tak enak mengejang karena masih shock pada apa yang tadi dialaminya. Untungnya, rasa coklat yang lembut dan menenangkan itu mampu membuat suasana hatinya tenang kembali.
            “ Aduh, Arina, maaf nih sebelumnya. Om sama Tante ini ada perlu sebentar. Kita harus pergi sekarang. Gak apa-apa kalo kamu kita tinggal? Nicho, temenin Arina dulu, ya? “ kata Tante Maya tampak agak tak enak harus meninggalkan Arina.
            “ Iya, Tante, gak apa-apa. Arina oke kok sama Nicho. “ kata Arina seramah mungkin.
            “ Ya udah, kita tinggal dulu, ya. Sekali lagi, Tante sama Om minta maaf gak bisa nemenin kamu lebih lama lagi. Makasih banyak buat kue dan kunjungannya, ya. “ kata Tante Maya sambil berdiri dari kursi.
Setelah Tante Maya dan Om Edward pergi, hanya Arina, Nicho, dan angin semilir yang tertinggal.
            Sunyi lama sekali diantara mereka berdua. Saat sedang asyik menatap pohon berbunga-bunga putih kecil, Arina dikagetka oleh suara Nicho yang baginya sepeeti suara petir di siang bolong.
            “ Kamu dulu yang sering ngeliatin aku main piano ya? Apa kamu anak kecil yang punya kepang dua sama suka pake rok warna merah? “ tanya Nicho pada Arina.
            “ Iya. Kok kamu tau sampe mendetail, Nicho? Aku aja udah gak lupa-lupa. “ kata Arina takjub.
            “ Gimana gak tau, orang kamu tuh setiap hari lewat rumah sama ngeliatin aku terus. “ senyum Nicho.
            “ Hebat deh kamu. Ngomong-ngomong, kenapa kamu gak pernah main keluar rumah buat sekali aja? “ tanya Arina hati-hati.
            “ Yah, aku sih sebenernya pengen banget, tapi, Mama ngelarang aku, katanya nanti kecapekan lah, bakal kambuh penyakitnya, apa lah, pokoknya banyak deh. “ jawab Nicho sedih.
            “ Sabar ya. Tapi, akalo aku boleh tau lagi, sakitnya kamu ini seberapa parah, Nicho?  “ tanya Arina lagi sambil membelai tangan kanan Nicho secara otomatis.
            “ Kata dokter, kemungkinan aku buat sembuh udah hampir gak ada kecuali ada keajaiban dari Tuhan. Sekarang, Mama sama Papa lagi usaha cari donor jantung atau stent jantung. Dan buat gangguan lambung yang kronis, udah gak ada harapan buat sembuh lagi, Rin. Dan kalo kamu mau tau, hidup aku tuh udah hampa. Bahkan, buat ngerasain semilir angin yang nerbangin rambut kamu disekitar muka kamu itu pun aku udah gak bisa. Dan aku pun udah lupa apa itu dingin, anget, berkeringet, hembusan angin, harum rumput yang baru dipotong, dan bahkan cinta. Aku udah gak bisa ngerasaian cinta lagi, Arina! “ kata Nicho mulai histeris.
            “ Shh! Kamu gak boleh gitu, Nicho. Kamu masih punya Mama sama Papa yang sayang sama kamu. Kamu juga punya aku sekarang. Kamu boleh berbagi rasa sakit dan sedih kamu sama aku. Kamu bisa berbagi hati kamu sama aku. Please, Nicho, buka hati kamu buat aku. “ kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulur tipis Arina tanpa disadarinya.
            Keheningan yang janggal turun lagi diantara mereka berdua. Arina hanya bisa menatap Nicho dengan sedih. Kemudian dia mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Nicho yang dingin, tapi Nicho menyingkirkan tangan Arina dan menggelengkan kepalanya, tampak sangat sedih dan bersalah.
            “ Maaf, Arina. Aku udah lancang barusan ngebawa kamu ke dalem penderitaan aku dan bikin kamu jadi ikut ngerasainnya juga. Maaf, maaf. Harusnya aku gak usah turun aja tadi. “ kata Nicho, tanpa diduga setetes air mata penyesalan mengalir turun dari mata Nicho.
            “ Nicho, “ kata Arina sambil memegang bahu kiri Nicho yang mudah dijangkau tangannya, “ Kamu gak bersalah. Justru, tindakan kamu ini tuh bener. Kamu harus mulai ngebuka hati kamu kalo kamu tuh masih berhak buat nikmatin hidup ini. Ya udah. Kita jalan-jalan dikit yuk, kita kelilingin taman ini. “ kata Arina sambil berdiri dan kemudian nulai mendorong kursi roda Nicho. Saat Arina mendorong kursi roda Nicho, dia kaget karena ternyata Nicho terasa sangat ringan saat didorong olehnya.
            “ Aku udah lupa gimana cara jalan. “ kata Nicho lugas dan memecah keheningan taman saat sedang berjalan-jalan dengan Arina.
            “ Cara jalan? Nicho mau belajar jalan lagi sama Arina? “ kata Arina menawari bantuan pada Nicho.
            “ Yah, itu juga kalo Arina mau. “ jawab Nicho kecil.
            “ Ya mau lah. Kenapa harus enggak. “ senyum Arina dan berjalan kehadapan Nicho.
            Arina kemudian mengulurkan kedua tangannya kedepan Nicho agar Nicho menggapai kedua tangannya. Secara mengejutkan, Nicho ternyata menggapai kedua tangan Arina. Arina lalu memegangi kedua tangan Nicho yang dingin itu kuat-kuat. Arina kemudian tersenyum menyemangati Nicho. Dilihatnya, Nicho mulai menurunkan kaki kanannya ke tanah, lalu kaki kirinya secara perlahan. Kemudian dia mulai berdiri secara perlahan-lahan. Setelah kuat berdiri, dia mulai melangkahkan kaki kanannya kedepan pelan-pelan, diikuti oleh kaki kirinya dibelakangnya. Arina mundur pelan-pelan agar Nicho bisa terus melangkah. Nicho terus melangkah meski terlihat seperti anak kecil yang baru belajar berjalan. Dengan Arina memegangi kedua tangannya, dengan mantap Nicho terus melangkah dan ketika langkah Nicho sudah mantap. Arina berhenti melangkah mundur.
            “ Nah, Nicho, kan, udah bisa jalan. Coba, Nicho bisa gak jalan sendiri. Jadi aku gak akan megangin Nicho sekarang. “ kata Arina.
            “ Oke, aku coba, ya. “ senyum Nicho.
            Arina kemudian melepaskan kedua tangan Nicho dan mundur beberapa langkah. Nicho, sambil tersenyum kepada Arina, mulai melangkahkan kaki kanannya kedepan dan diikuti oleh kaki kirinya dibelakangnya. Pelan tapi, pasti, Nicho terus berjalan dari yang tadinya seperti anak kecil yang baru belajar jalan menjadi seperti orang biasa yang bisa berjalan normal. Saat Nicho tiba didepan Arina, Arina tersenyum memberi penghargaan pada Nicho.
            “ Kamu hebat banget Nicho. “ kata Arina yang sampai kehilangan kata-kata, takjub melihat Nicho.
            Tanpa kata-kata, Nicho langsung memeluk Arina erat-erat. Arina kaget, tapi kemudian dia membalas memeluk Nicho dan mengusap-usap punggungnya yang kurus dan terasa bertulang bagi Arina. Lama sekali Nicho memeluk Arina. Dan Arina, entah mengapa malah mendapat kenyamanan dan perlindungan dari laki-laki yang memeluknya ini. Setelah lama berpelukan, akhrinya Nicho melepaskan dirinya dari Arina.
            “ Makasih banyak ya Arina. Kalo kamu gak pernah main kesini, mungkin gak akan bisa jalan lagi buat selamanya. “ kata Nicho sambil memegang kedua bahu Arina.
            “ Iya, sama-sama. Aku seneng kalo kamu juga seneng. “ senyum Arina tulus.
            “ Oh ya, Kamu besok kuliah pulang jam berapa, Rin? “ tanya Nicho pada Arina.
            “ Kebeneran besok aku libur kuliah. Kan, besok udah hari sabtu. Gimana kalo aku besok kesini lagi? Kita main bareng lagi. “ kata Arina semangat.
            “ Iya, boleh, kok. Jadi, kamu mau dateng jam berapa? “ tanya Nicho gembira.
            “ Jam sembilan pagi? Supaya kita bisa ngerasain udara pagi-pagi gimana? “ usul Arina.     
            “ Boleh banget, tuh. “ setuju Nicho.
            Arina tersenyum mendengar ucapan Nicho, kemudian dia melirik ke jam tangan yang dikenakannya. Dia tersentak kaget karena waktu sudah menunjukkan pukul setengah enam kurang lima menit.
            “ Ya ampun, udah sore lagi ya. aku harus pulang, nih. “ kata Arina sambil menatap langit yang mulai menggelap.
            “ Gimana kalo aku anterin kamu sampe depan rumah? “ tanya Nicho.
            “ Boleh boleh, ayo kamu duduk lagi di kursi rodanya, Nic. Kamu `kan gak boleh kecapekan. “ kata Arina pada Nicho mengingatkannya.
            “ Yah, aku sebenernya udah bosen duduk di kursi roda melulu. Tapi, ya udah deh, demi Arina. “ senyum Nicho sedih sambil berjalan kearah kursi roda dan duduk kembali diatasnya.
            Setelah Nicho kembali duduk dikursi rodanya, Arina mendorong kursi roda Nicho meninggalkan taman belakang rumah yang mulai terasa dingin bagi Arina.
            “ diluar dingin banget, Nic. Jadi, kamu gak usah keluar rumah dulu, ya. Besok pagi aja oke? “ kata Arina menghentikan langkahnya didepan pintu rumah.
            “ Oh oke deh. Bye bye Arina. “ kata Nicho sambil tersenyum pada Arina. Setelah itu Arina membuka pintu depan dan menghilang dibaliknya.
            Di jalan, Arina merasa gembira bisa bertemu dengan anak laki-laki yang selama ini hanya bisa diamatinya lewat jendela rumah dan sedih karena ternyata keadaan si anak- itu sangat menyedihkan dan menyayat hati. Akhirnya Arina tiba di rumah. Sambil melepas sepatunya, Arina menghela napas panjang. Dengan langkah gontai karena lelah tetapi senang Arina menghampiri tempat peraduannya dan menghempaskan dirinya dengan lepas keatas ranjangnya. Saat Arina melirik jam weker yang terletak tak jauh dari posisinya sekarang, waktu sudah menunjukkan pukul enam kurang seperempat. Arina segera bangun untuk melepaskan jaket hitamnya dan melemparkannya ke atas ranjang dan pergi keluar kamar untuk menyiapkan makan malam untuk dirinya seorang.
            Begitu sampai di dapur, Arina langsung memburu kulkas. Dari dalamnya, Arina mendapatkan sosis salami, daun selada segar, dan sebotol mayonaise yang dingin. Ketika Arina melirik kearah meja makan, masih ada roti tawar sisa sarapannya tadi pagi. Sambil duduk di kursi di meja makan, Arina mulai mengiris sosis salami hingga dia mendapatkan dua iris sosis dan mengambil dua lembar roti tawar. Setelah itu sambil menunggu mayonaise tidak terlalu dingin lagi, dia berjalan menuju kompor untuk memasak sosis salami. Setelah memanaskan penggorengan, Arina memasak sosis hingga harum dan matang. Dimatikannya kompor dan dia membawa teflon penggorengan berisi dua iris sosis salami ke meja makan dan dengan menggunakan sodet Arina meletakkan kedua iris sosis keatas roti tawar diatas piring. Setelah selesai, Arina mulai makan sambil menonton televisi untuk melihat dunia luar. Setelah selesai makan sambil ditemani acara berita yang menayangkan berita tentang perceraian selebriti, Arina mematikan televisi dan pergi kekamarnya.
            Dikamarnya, ketika Arina baru akan menyalakan komputernya, Hand Phone Arina berdering nyaring tanda dia menerima SMS. Ketika Arina melihat dari siapakan SMS itu datang, Arina kaget, karena SMS itu datang dari temannya saat SMA, Arnold.
Isi pesan dari Arnold itu: Hai Arina, apa kabar nih? Sehat? Ini Arnold ya kalo kamu lupa ha ha ha. Kamu sekarang kuliah San Angelo Unversity ya? By the Way, aku sekarang ada didepan rumah kamu lho! Ayo cepetan keluar, dingin nih udaranya.
            Seketika itu juga Arina langsung terlonjak dan segera mengambil mantel kamarnya dan berjalan keluar kamar sambil merapi-rapikan rambutnya dan ketika sudah berada didepan pintu rumah, Arina membuka kunci pintu dan menarik pegangan pintu hingga pintu melebar terbuka. Ketika Arina sudah membiasakan matanya pada keadaan yang gelap, sekarang Arina bisa melihat ada seorang laki-laki yang seusia dengannya. Laki-laki itu berdiri membelakangi Arina sambil menyandarkan tubuhnya ke tembok yang ada disamping kanan laki-laki itu. Laki-laki itu meski tampak dari belakang tampak gagah dengan tubuh yang tinggi dan bahu yang tegap serta otot-otot yang tampak kekar meski tertutupi oleh jaket hitam tebal.
            “ Arnold? “ tanya Arina pada si laki-laki.
            “ Arina? Hai, apa kabar? “ tanya balik laki-laki yang dipanggil oleh Arina dengan nama Arnold sambil mengulurkan tangan kanannya ketika dia berbalik menghadap Arina.
            Arina menjabat tangan Arnold. “ Aku pikir kamu lagi di Berkeley. Ada apa nih? Tumben kamu main kesini? “ tanya Arina sambil tersenyum menyambut pada Arnold.
            “ Yah, aku lagi ambil cuti kuliah. Setiap hari ketemu Kalkulus melulu rasanya pusing juga. “ gurau Arnold.
            “ Ha ha ha, dasar kamu ini. Yuk masuk, udaranya dingin banget ternyata. “ ajak Arina sambil membuka pintu menjadi lebih lebar untuk mempersilakan Arnold masuk.
            “ Mama sama Papa kamu mana, Rin? ” tanya Arnold ketika dia dan Arina berada di ruang tengah.
            “ Mama sama Papa lagi ke Perancis. Pulangnya sebulan lagi tuh. Oh ya, kamu mau minum apa? “ kata Arina balas bertanya pada Arnold.
            “ Wah gayanya Mama sama Papa kamu. Minum?Apapun oke buat aku. “ jawab Arnold sambil menjangkau remote televisi yang terletak di meja didepannya dan menyalakan televisi.
            Arina tersenyum mendengar ucapan Arnold dan pergi ke dapur untuk menyiapkan minuman untuk Arnold. Sambil membuat kopi untuknya dan Arnold, pikiran Arina melayang ke masa SMA-nya dulu. Bagaimanapun juga, Arnold itu adalah pacar pertama Arina. Setelah putus dari Arnold dulu, Arina belum pernah berhubungan istimewa lagi dengan teman laki-lakinya yang lain. Dan sepengetahuan Arina pun, Arnold tak pernah terlihat pergi atau jalan-jalan dengan perempuan manapun. Tak lama, Arina segera membuyarkan lamunannya dan membawa kedua cangkir kopi ke ruang tengah.
            “ Whoa, Arina tau aja aku lagi pengen kopi anget. “ kata Arnold sambil menerima cangkir kopi dari Arina.
            “ Oh ya? Hebat dong aku? “ gurau Arina. “ Ngomong-ngomong, kamu selain mau rehat dari kuliah dan kangen-kangenan sama daerah ini, tumben gitu kamu main ke rumah aku. Ada apa nih? “ tanya Arina sedikit penasaran.
            “ Aku? Aku mau nyampein sesuatu. Sebentar ya. “ kata Arnold sambil meletakkan cangkir kopi ke atas permukaan meja dan merogoh-rogoh sesuatu dari dalam saku jaket tebalnya.
            “ Emang ada sesuatu yang harus aku tau, ya? “ canda Arina sambil tertawa kecil.
            “ Nah, bener banget. Ini, kamu pasti seneng ngeliatnya. “ kata Arnold sambil memberikan selembar amplop putih panjang pada Arina dan Arina  pun mengambilnya.
            Dengan hati sedikit bergetar, Arina membuka amplop secara perlahan. Dilihatnya ada secarik kertas yang terlipat. Arina mengambil kertas itu. Diletakkannya amplop putih itu dipangkuannya dan dibukanya kertas putih yang terlipat yang ada ditangannya sekarang. Dia mulai membaca isi dari kertas itu. Ternyata, itu adalah undangan reuni SMA angkatan Arina.
            “ Oh jadi ini tuh undangan reuni ya, Nold? Kamu mau dateng gak ke acara ini? “ tanya Arina otomatis pada Arnold.
            “ Oh ya pastinya. Kamu mau gak, Rin? Pergi sama aku, yuk. Mau? “ kata Arnold sambil sedikit menatap Arina dengan tatapan mata yang dalam.
            Arina terdiam sejenak. “ Oke aku mau. Jadi, sabtu depan kita pergi kesana? Tempatnya tuh di rumah Maureen, kan? “ tanya Arina pada Arnold lagi.
            “ Sip. Oke deh, aku pulang dulu ya, udah malem juga nih. Kamu sendiri di rumah gak apa-apa, Rin? ” pamit Arnold sambil berdiri dan menarik ritsleting jaketnya sehingga dadanya tertutup oleh jaket sepenuhnya.
            “ Oke oke, aku gak apa-apa, kok. Tenang aja. “ senyum Arina menenangkan Arnold.
            Arina kemudian mengantar Arnold hingga Arnold menghilang di tengah kegelapan malam yang sunyi, sepi, dingin menyengat. Ketika Arina berjalan kembali ke ruang keluarga dan menonton televisi, Arina kembali melamun. Sekarang dia merasa aneh. Beberapa saat yang lalu, pikirannya dipenuhi oleh sahabat barunya, Nicho. Tapi, di lain kesempatan, pikirannya sekarang dibayangi oleh mantan pacarnya, Arnold. Bahkan, ketika sedang cuci muka dan memakai piama, pikirannya dipenuhi oleh Nicho dan Arnold. Arina berusaha menghapus bayangan kedua laki-laki ini dari pikirannya ketika merebahkan dirinya di ranjang dan mengingatkan diri bahwa dia harus bangun pagi karena dia sudah berjanji pada Nicho untuk pergi jalan-jalan pagi dengannya besok pagi.
                                                            * * *
            Keesokan harinya pukul enam pagi Arina sudah bangun. Dia terus tertidur dan terbangun sepanjang malam tadi. Mimpi tentang Arnold lalu Nicho terus membayanginya. Karena tak tahan, Arina akhirnya keluar dari dalam selimut pada pukul empat pagi. Setelah selesai mandi dan berpakaian yang rapi, Arina pergi ke dapur untuk membuat sarapan untuknya. Selesai menyiapkan setangkup roti bakar dengan telur goreng ditengah-tengahnya dan secangkir coklat hangat, Arina mulai sarapan sambil menikmati pagi yang cukup dingin di teras halaman belakang rumahnya. Selesai sarapan, dia masuk lagi kedalam rumah untuk mengerjakan tugas kuliahnya yang masih belum selesai diketiknya. Setelah dua jam duduk disana, pukul sembilan kurang sepuluh menit Arina hampir menyelesaikan tugasnya. Karena dia ada janji dengan Nicho pada pukul sembilan, Arina menunda pekerjaannya terlebih dahulu dan mematikan komputernya. Jam sembilan kurang lima Arina mengunci pintu depan rumahnya dan berjalan kearah rumah Nicho. Akhirnya Arina tiba didepan gerbang tinggi rumah Nicho. Arina tak lama menunggu karena penjaga rumah Nicho seakan-akan sudah mengetahui kalau Arina akan datang pagi itu.
            “ Ayo, masuk. Tuan Nicho udah nunggu di dalem rumah. “ sapa si penjaga ramah pada Arina.
            “ Iya, terima kasih banyak, Pak. “ senyum Arina sambil melangkah masuk kedalam rumah. Ketika Arina sampai didepan pintu rumah, Arina mendengar dentingan piano dari baliknya. Arina mengetuk pintu indah itu dan dari baliknya, tanpa diduga, Tante Maya.
            “ Selamat pagi, Arina. “sapa Tante Maya sambil tersenyum.
            Arina mencium tangan Tante Maya. “ Selamat pagi, Tante. “ kata Arina sambil tersenyum.
            “ Yuk, masuk. Nicho udah nungguin kamu lho. “ kata Tante Maya sambil membuka pintu rumah lebih lebar dan Arina pun melangkah masuk kedalam rumah. Arina tersenyum lagi pada Tante Maya dan melangkah disamping kanan Tante Maya.
            “ Om ada di rumah Tante? ” tanya Arina membuka percakapan.
            “ Om udah pergi pagi ini. Katanya harus ketemu klien jam sebelas dikantornya. Itu Nicho. “ kata Tante Maya sambil mengajak Arina untuk menghampiri Nicho yang sedang bermain piano didepan jendela yang menghadap ke jalan raya- tempat dulu Arina suka mengamati Nicho bermain piano. Dentingan simfoni dari salah satu lagi Wolfgang Amadeus Mozart serasa mengiringi setiap langkah Arina saat ini. Saat Arina dan Tante Maya sudah berdiri dibelakang Nicho, Arina terpaku mendengarkan simfoni yang sedang dialunkan oleh Nicho.
            “ Nic, ini Arina udah dateng. “ kata Tante Maya memecah lamunan Arina.
            Seketika itu juga Nicho menghentikan simfoninya dan menoleh kebelakang. “ Hai Rin. “ sapanya sambil tersenyum, senyum yang tampak ceria di mata Arina.
            “ Halo, Nic. Aku baru ngeliat kamu main piano langsung kayak sekarang. Bagus banget, aku sampe terharu ngedengernya. “ kata Arina polos.
            Nicho tertawa, “ Arina bisa aja. Oh ya, kita mau jalan-jalan, kan, sekarang? ” tanya Nicho penuh harap pada Arina.
            “ Yuk, nanti keburu siang. Tante, aku sama Nicho mau jalan-jalan sedikit disekitar komplek, boleh? “ pamit Arina pada Tante Maya.
            “ Boleh, boleh. Hati-hati, ya, Rin, Nic. “ kata Tante Maya sambil tersenyum meyakinkan pada Arina dan Nicho.
            “ Kalo gitu aku sama Arina pergi dulu, ya, Ma. “ pamit Nicho pada Tante Maya.
            “ Kita pergi dulu, ya, Tante. “ pamit Arina sambil mulai mendorong kursi roda Nicho menjauhi piano dan Tante Maya.
            Mereka berdua pun pergi meninggalkan rumah yang besar dan mulai berjalan-jalan di jalanan komplek ‘elite’ yang tampak sepi.
            “ Aku udah lama banget gak jalan-jalan pagi kayak gini. Paling banter aku jalan-jalan keliling taman belakang rumah sama Mama. “ aku Nicho polos membuka percakapan sambil berjalan.
            “ Oh ya? Seneng dong, sekarang? “ tanya Arina pada Nicho.
            “ Ya iya lah, apalagi sama Arina jalan-jalannya. “ gurau Nicho pada Arina.
            Arina tertawa mendengar ucapan Nicho, “ Nicho ini ternyata pinter ngegombal juga, ya? “.
            “ Enggak, sumpah deh. Aku jujur seratus persen, Rin, aku seneng bisa jalan-jalan pagi sama kamu! “ kata Nicho serius pada Arina.
            “ Iya iya, Nicho. Aku percaya, kok, sama kamu. Oh ya, aku minta nomer Hand Phone kamu boleh, gak? “ tanya Arina pada Nicho.
            “ Boleh, nanti aku SMS kamu deh. Mana Hand Phone kamu? Aku mau nyimpen nomer Hand Phone aku dulu, nanti kamu simpen nomer Hand Phone aku. “ kata Nicho pada Arina.
            Arina kemudian mengambil Hand Phone miliknya yang terletak di saku kemeja hitamnya dan memberikannya pada Nicho. Nicho terlihat sibuk mengetikkan nomor Hand Phone nya dan kemudian menggunakan Hand Phone Arina untuk menghubungi Hand Phone nya. Setelah itu Nicho menamai nomor Hand Phone-nya yang ada di Hand Phone Arina dengan nama dirinya.
            “ Nih, udah. Nanti aku SMS kamu, ya? “ kata Nicho pada Arina yang sedang menikmati pemandangan.
            “ Oh oke deh. Aku tunggu, ya. “ senyum Arina pada Nicho. Sambil menikmati udara pagi yang dingin sejuk dan menerawang kaki langit yang putih berkilau tertutup oleh awan, Arina terus memikirkan Nicho dan Arnold sambil berjalan mendorong kursi roda Nicho. Sabtu minggu depan dia akan pergi ke acara reuni SMA dengan Arnold, tapi entah mengapa hatinya berdebar-debar tak keruan dari sekarang.
            “ Rin? Kamu kok diem aja? “ kata Nicho sambil menjangkau tangan kanan Arina dan mengelusnya hingga lamunan Arina buyar dan terlonjak kaget.
            Entah mengapa Arina sangat terkejut ketika Nicho mengelus tangannya. Dia diam sejenak untuk menenangkan dirinya. “ Aku lagi nikmatin pemandangan aja, kok. Emang kenapa? “ tanya Arina halus pada Nicho.
            “ Enggak kenapa-kenapa, kok. Heran aja kamu diem aja dari tadi. Oh ya, aku mohon doa kamu ya. “
            “ Doa? Doa apa sama buat apa, Nic? “ tanya Arina heran sambil menghentikan langkahnya.
            “ Hari Kamis minggu depan aku operasi. “ bisik Nicho sambil mendekatkan kepala Arina menggunakan tangan kanannya sehingga wajah Arina ada didepan wajah Nicho yang putih, pucat, dan mulus.
            “ Operasi apa? “ bisik Arina sedikit kaget.
            “ Transplantasi Jantung. Soalnya kata Mama sama Papa aku udah dapet donor jantung. “ senyum Nicho menenangkan Arina sambil melepaskan tangan kanannya dari kepala Arina.
            Arina menegakkan kepalanya dan tersenyum. “ Wah, selamat ya, Nic. “.
            Nicho tersenyum, “ Thanks banget, Rin. “
            “ Ngomong-ngomong kamu nanti operasi di Rumah Sakit mana? “ tanya Arina sambil melanjutkan berjalan.
            “ Rumah Sakit Little Creek yang didepannya ada danau yang kayak rumah sakit di film Final Destination 2 itu lho, Rin. “ jawab Nicho.
            “ Oh ya aku tau kalo rumah sakit itu. Nanti, kalo kamu udah selese operasi, aku boleh nengok kamu? “ tanya Arina sambil mendekatkan kepalanya pada Nicho.
            “ Boleh banget. “ senyum Nicho tulus.

Tidak ada komentar: