![](http://quizilla.teennick.com/user_images/K/KY/KYO/KYORYOMA12/1219877331_6436_full.jpeg)
Rasanya seperti
akan mati. Setiap rasa sakit yang memuakkan ini datang, rasanya aku seperti
melihat ada malaikat maut yang siap menjemputku. Setiap kali penyakitku kambuh,
kepalaku rasanya mau pecah, perutku terasa bergejolak, dan kalau cairan merah
kehitaman amis itu sudah keluar dari mulutku aku baru merasa sedikit lega. Tapi
aku kasihan melihat Fahrin yang tampak sangat stress jika aku sudah memuntahkan
darah. Sejujurnya, keberadaan Fahrin disisiku saja sudah jadi obat mujarab
bagiku. Memang, dia tidak setelaten Ibu dalam hal merawatku, tapi dia
memancarkan cinta yang lebih kepadaku. Cinta seorang kakak kepada adiknya yang
bagiku betapa beruntungnya diriku dilahirkan bersamaan dengan dia, Fahrina Dina
Amaranti.
Fahrin, mungkin kamu tahu kalau denganmu saja aku
sudah merasa jauh lebih baik, tapi kamu tidak tahu betapa besarnya pengorbanan
kamu buat aku. Kalau ada kata-kata yang bisa mengungkapkan sesuatu yang lebih
dari rasa terima kasih, kamu layak mendapatkan itu. Selama ini kamu tidak tahu
penyakit apa yang menderaku. Sebetulnya Ayah dan Ibu sudah memberitahukan
semuanya, tapi mereka dan aku tak ingin merusak keceriaanmu, kerianganmu, dan
menghapus senyum dari wajah cantikmu.
Aku menderita kanker otak dan sirosis hati. Jujur,
ketika aku mendengar ini pertama kali dari Ibu yang menangis, aku sampai
berharap kalau Tuhan mengambilku hari itu juga. Hatiku pedih mendengar
kenyataan pahit ini. Tapi, ketika kulihat semangatmu untuk meraih hidup, aku
langsung malu pada diriku sendiri. Kamu perempuan yang kuat. Kamu juga
perempuan yang tahan banting meski masalah mendera tak henti-henti. Aku ingin
sepertimu, saudara.
Hatiku hancur
saat mengetahui kalau kamu tak suka hanya berduaan saja denganku di rumah. Aku
tak sengaja mendengar percakapan antara kamu, Ayah, dan Ibu kemarin malam
sebelum keberangkatan mereka ke Jerman.
“ Aku gak mau
cuma berdua sama Rino aja, Yah-Bu! Aku takut dia mati kalau aku salah kasih
obat! Aku gak sanggup ngurus dia sendiri! “ kata Fahrin histeris.
“ Fahrin, kamu
gak boleh gitu, kamu pasti bisa ngurus dia sebaik Ibu ngurus Rino. “ kata Ayah
berusaha menenangkan Fahrin.
Setelah itu aku
bergegas berlalu dari kamar Ayah dan Ibu, jadi aku hanya sekilas mendengar
suara Fahrin yang masih histeris. Dia tak tahu, sebetulnya Ayah dan Ibu pergi ke
Jerman bukan untuk mengurus proyek ayah yang ada disana, tapi Ayah dan Ibu
sedang mengurus operasiku nanti bulan Mei. Ayah tahu kalau kedokteran Jerman
sudah berkembang pesat, dan Ayah bilang kalau ada temannya yang sukses
menjalani operasi transplantasi hati dan pengangkatan kanker otak. Kebetulan Ayah
punya client seorang dokter bedah disana yang sudah menjadi temannya, jadi
teman Ayah yang dokter itu akan menangani operasi besarku ini. Ayah senang
sekali dengan kabar bahagia ini. Tapi sayangnya Fahrin tidak boleh tahu, karena
sedari awal dia tidak tahu apa sesungguhnya yang menggerogoti tubuhku ini.
Akhirnya kami sepakat, Fahrina akan kami beritahu ketika hari keberangkatanku
ke Jerman.
Akhirnya, rasa
sakit dikepalaku pelan-pelan mereda. Aku merasa sedikit tenang dengan Fahrin
masih mendekapku erta-erat.
Mungkin Fahrin
menyadari kalau aku sudah berhenti kesakitan, “ gimana, No? Kamu udah baikan?
Kepala kamu gak sakit lagi? “ bisiknya masih nyata khawatir.
“ Udah enggak ko.
“ bisikku serak.
Kemudian Fahrin
membantuku bangun dan memapahku ke dalam kamarku, lalu membaringkanku di tempat
tidur. Sambil menyelimutiku, dia masih tampak sedih dan khawatir.
Kalau saja kamu tahu isi hatiku, aku berterima kasih sekali padamu,
Fahrin.
“ Malem ini aku
tidur disini ya. Aku cuma mau mastiin kamu kalo kamu baik-baik aja aku tinggal
besok. “ kata Fahrin sambil berbaring disebelah kananku.
Aku hanya bisa
mengangguk, takut kalau sakit kepalaku muncul lagi. Kemudian aku melihatnya
memejamkan matanya yang indah. Aku tak mau dia kedinginan, jadi aku berbagi
selimut dengannya. Banyak yang bilang kalau kami tidak seperti saudara kembar,
kami lebih menyerupai sepasang kekasih. Apalagi jika kami hanya jalan-jalan
berdua saja, rasanya semua mata menatap ke arah kami berdua.
Fahrin sudah
seperti ibu saja bagiku. Dia baik, lembut, meski terkadang menyebalkan dan
kelewat cerewet, tapi kalau sehari tak menatapnya dan mendengar celotehannya
yang sibuk menyuruhku meminum obatku rasanya aku merasa ada yang kurang. Kadang
juga dia seperti adikku, meskipun sebenarnya aku adiknya. Kadang dia manja
minta aku menemaninya tidur, memasak di dapur, atau mencuci baju di belakang
rumah dengan alasan takut. Kadang juga aku menjadi teman curhatnya kalau dia
sedang galau dengan Novak. Tapi tak jarang juga aku bercerita kalau aku sedang
ada masalah dengan Amy.
Novak baik sekali
padaku, dia sudah seperti menganggapku adik laki-lakinya. Kalau saja dia bisa
betul-betul menjadi bagian dari keluarga ini, aku akan senang sekali. Novak
sering bercerita banyak padaku, tentang bagaimana Fahrin di kampus,
kehidupannya sendiri yang bagiku extra ordinary, dan bagaimana perasaannya pada
Fahrin.
Rasanya seperti
baru sedetik ketika aku terbangun keesokan paginya. Ketika kulihat sisi
kananku, Fahrin sudah tidak ada. Sayup-sayup kudengar ada suara orang yang
sedang sibuk di dapur rumah. Rupanya Fahrin sudah sibuk di dapur sepagi ini.
Ketika kulihat jam dinding, masih pukul setengah enam pagi. Aku bangun dari
dalam selimut dan berjalan menuju ruang tengah.
“ Kamu udah
bangun. “ sapa Fahrin sambil sibuk membuat teh dan roti panggang sebagai menu
sarapan.
Aku masih belum
tersadar sepenuhnya, sambil menggosok-gosok mataku, kulihat di meja makan sudah
tersedia berbagai macam selai, obat-obatanku, piring dan tea set keramik putih,
pisau dan garpu, meja makan sudah rapi tertata. Tak lama Fahrin membawa sepiring
roti panggang yang menguarkan aroma yang menggiurkan dan poci teh keramik putih
juga. Aku duduk manis di meja makan, tak sabar memakan sarapan buatan Fahrin,
selain karena perutku tak terisi apa-apa lagi sejak kemarin petang. Kami pun
mulai makan. Tak tampak raut wajah khawatir di wajah Fahrin. Meskipun bukan
sekali dua kali aku memergoki kalau Fahrin sedang menatapku dengan salah
tingkah dan gelisah. Selesai sarapan aku mulai meminum obat-obatanku yang
banyak itu.
“ Amy mau dateng
jam berapa? “ tanya Fahrin setelah lama hening.
“ Jam sembilan
lah. Kamu berangkat jam berapa? “ tanyaku balik.
Fahrin menatap
arloji hitam favoritnya dan sedikit kaget, “ aku berangkat sekarang ah. Udah
jam enam aja. Kamu hati-hati ya di rumah. Jangan lupa minum obat oke. “ kata
Fahrin sambil bangkit dari kursi dan segera mengambil tasnya dan kunci
motornya, lalu berjalan ke halaman depan untuk mengeluarkan motornya.
“ Bye bye Fahrin.
Hati-hati ya. “ senyumku melepasnya pergi.
Fahrin tersenyum
riang padaku, lalu meluncur pergi meninggalkanku sendiri. Aku segera masuk
kedalam rumah, senin pagi rasanya dingin sekali bagiku. Sambil menunggu jam
sembilan, lebih baik aku tidur lagi saja.
*
* *
Aku terbangun
mendadak oleh dering nyaring dari ponselku. Ternyata itu Amy meneleponku. “
Halo? “ kataku masih sedikit mengantuk.
“ No, aku udah
depan rumah nih. “ kata Amy dari telepon.
“ Tungguin. Aku
keluar sekarang. “ kataku menyudahi telepon dan mematikannya, lalu bangkit dari
tempat tidur dan berjalan menuju luar rumah.
Memang benar Amy
sudah ada di depan rumah. Mobil kecilnya yang berwarna abu-abu metalik sudah
terparkir rapi di depan rumahku. Tak lama perempuan paling cantik yang rambut
panjangnya sekilas mirip rambut Fahrin turun dari dalam mobil. Aku menyambut
Amy dengan membukakan gerbang depan rumah untuknya.
“ Pagi Sayang. “
kata Amy sambil memelukku dan kemudian mencium pipi kananku dengan hangat.
“ Pagi juga. Yuk
masuk. “ kataku sambil menggandeng lengannya ke dalam rumah.
“ Fahrin kuliah
ya? “ tanyanya sambil duduk di ruang tengah disebelahku.
“ Iya, nanti
siang jam satuan lah dia bakal pulang dulu buat ngeliat aku masih hidup atau
enggak. “ candaku pad Amy.
“ Ih kamu, gak
lucu banget sih bercandanya! “ kata Amy kesal dan kaget.
Aku tertawa
melihat ekspresinya yang kesal, marah, dan geli juga. Ekspresi wajah yang
selalu dilontarkan oleh Fahrin kepadaku. “ Kamu udah sarapan belum? “ tanyaku
sambil mengusap-usap kepalanya penuh sayang.
“ Belum. Kok kamu
tahu sih? “ tanyanya heran.
“ Fahrin bikin
roti panggang banyak tuh. Yuk sarapan dulu. “ ajakku sambil menarik lembut
tangannya menuju meja makan.
Amy mulai makan
dengan semangat. Aku ikut mengunyah roti panggang yang tersisa di meja makan.
“ Fahrin hebat
ya. Bikin roti panggang gini aja enak. Kamu beruntung banget punya kakak kayak
dia. Sayang banget sama adiknya yang nyebelin ini. “ kata Amy bercanda.
Aku mencubit
pipinya yang halus dan mulus. Setelah sarapan, aku menonton televisi dengan
Amy.
“ Ayah sama ibu
kamu pulangnya kapan? “ tanya Amy.
“ Masih lama,
tiga minggu dari sekarang lah. “ kataku sambil menatap layar televisi.
Sebetulnya aku masih ingin tidur, karena mataku ini rasanya lengket sekali
ingin dipejamkan, tapi aku tahan dulu untuk Amy. “ Aku mau mandi dulu ya. “
kataku sambil bangkit dari sofa.
“ Kamu belum
mandi dari tadi? Ih jorok! “ kata Amy sambil mencubit tanganku, aku tertawa
mendengar ucapannya dan segera pergi mandi. Setelah mandi rasanya segar sekali,
tubuhku rasanya kembali seperti baru lahir lagi. Ketika berpakaian, aku melihat
jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat lima belas menit. Aku pikir masih
pukul setengah sepuluh.
Ketika aku
kembali menghampiri Amy di ruang tengah, kulihat dia tampak sedang khawatir dan
panik.
“ Sayang,
ternyata aku ada kuliah mendadak jam sebelas nih, kalo aku pulang sekarang gak
apa-apa? “ tanya Amy ketika aku duduk disampingnya di sofa.
“ Ya udah gak
apa-apa, makasih banyak ya udah nemenin aku. “ kataku sambil mencium pipinya
yang sedikit tembam dan halus itu. Dia beranjak dari sofa sambil mengambil
tasnya, lalu berjalan keluar rumah. Ketika melihat mobilnya meluncur pergi, aku
merasakan hal yang selalu aku rasakan kalau melihat Fahrin pergi. Amy adalah
perempuan paling cantik ketiga di dunia ini, setelah ibu dan Fahrin. Aku
mendapatkan banyak kenyamanan dengan Amy. Sudah empat tahun dua bulan aku
bersama-sama dengannya, sejak kelas sembilan SMP. Ketika mencari kekasih, aku
ingin kekasihku nanti secantik, selembut, dan sehalus ibu, tetapi harus
semanis, setegar, dan setegas Fahrin. Dan ternyata aku menemukan sosok itu pada
Amy, bahkan lebih. Ketika Fahrin terkadang mendidikku terlalu keras, Amy bisa
mengimbanginya dengan merangkul lembut diriku. Tetapi kalau Amy sedang cengeng
dan kelewat manja, Fahrin bisa menghiburku kalau itu hanya untuk sejenak saja,
kalau Amy besok hari sudah baik kembali.
Aku berjalan
kembali menuju kamarku yang sedikit rapi karena Fahrin merapikan kamarku tadi
malam. Aku merebahkan tubuhku di dalam selimut yang hangat, menunggu jam satu
ketika Fahrin pulang dan sudah membuat makan siang untuk kami.
*
* *
Rasanya baru
semenit yang lalu aku memejamkan mataku ketika ada yang mengusap-usap kepalaku.
“ No, bangun
dulu. Makan siang terus minum obat ya. “ kata Fahrin lembut, lalu beranjak dari
kamarku.
Aku mengusap-usap
mataku dan melihat jam di ponsel, sudah jam setengah dua. Aku bangun dengan
perlahan, dan berjalan menuju ruang makan. Di meja makan, sudah ada nasi putih
yang masih berasap dan harum pandan, sayur bening kesukaan kami berdua, dan
obat-obatanku yang sudah tersaji.
Kami mulai makan.
Hari ini masakan Fahrin terasa lebih enak daripada biasanya. Masakan Fahrin
terkadang terlalu asin, tapi tak jarang juga kurang garam sehingga aku harus
menambahkan garam beberapa kali.
“ Gimana, enak
gak masakan aku? Tumben kamu gak nambahin garem kayak kemaren-kemaren? “ tanya
Fahrin ketika kami sudah selesai makan.
“ Enak kok, hebat
kamu sekarang masaknya. “ kataku sambil mulai meminum obat-obatanku yang banyak
itu. Ketika aku melihat jam di ruang tengah, sudah pukul dua lewat lima belas
menit.
“ Kamu mau ke kampus jam berapa? “ tanyaku pada Fahrin yang sedang
melihat ponselnya.
“ Nanti deh jam
setengah tiga. “ kata fahrin masih menatap ponselnya.
“ Oh emang kamu
nyampe kesini jam berapa tadi? “ tanyaku lagi.
Fahrin diam
sebentar, lalu meletakkan ponselnya di meja makan, “ sekitar jam dua belas lah.
Pas aku nyampe kamu lagi tidur, ya udah aku masak dulu tadi. Oh iya, Amy pulang
jam berapa tadi? “ tanya Fahrin padaku.
“ Jam sepuluh
lewat lima belas lah, soalnya dia ada kuliah dadakan. Eh, kata kamu Novak mau
dateng jam berapa nanti sore? “ tanyaku tentang Novak.
“ Jam empat
jadinya. Barusan dia SMS aku, katanya jam empat sampe sini, terus aku udah
bilang ada kamu ya di rumah, jadi kamu jangan keluyuran oke. “ kata Fahrin
memperingatkan.
“ Iya iya. “
kataku setengah nyengir padanya.
Fahrin beranjak
dari kursi dan melihat jam tangannya, “ aku pergi sekarang aja ya, pasti
kejebak macet dulu di jalan. Hati-hati di rumah ya. “.
“ Oke. “ kataku
sambil berdiri juga dan berjalan masuk kamar ketika aku mendengar suara pintu
menutup dari depan rumah, lalu suara deru motor Fahrin yang perlahan
menghilang. Sambil menunggu Novak datang, aku membuka laptop dan main game online. Saat sedang seru-serunya,
terdengar suara ketukan pintu depan. Aku kaget dan refleks melihat jam dinding,
ternyata sudah pukul empat. Aku berjalan keluar dan membukakan pintu depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar