Sabtu, 20 Oktober 2012

Fahrino


                
Rasanya seperti akan mati. Setiap rasa sakit yang memuakkan ini datang, rasanya aku seperti melihat ada malaikat maut yang siap menjemputku. Setiap kali penyakitku kambuh, kepalaku rasanya mau pecah, perutku terasa bergejolak, dan kalau cairan merah kehitaman amis itu sudah keluar dari mulutku aku baru merasa sedikit lega. Tapi aku kasihan melihat Fahrin yang tampak sangat stress jika aku sudah memuntahkan darah. Sejujurnya, keberadaan Fahrin disisiku saja sudah jadi obat mujarab bagiku. Memang, dia tidak setelaten Ibu dalam hal merawatku, tapi dia memancarkan cinta yang lebih kepadaku. Cinta seorang kakak kepada adiknya yang bagiku betapa beruntungnya diriku dilahirkan bersamaan dengan dia, Fahrina Dina Amaranti.
Fahrin, mungkin kamu tahu kalau denganmu saja aku sudah merasa jauh lebih baik, tapi kamu tidak tahu betapa besarnya pengorbanan kamu buat aku. Kalau ada kata-kata yang bisa mengungkapkan sesuatu yang lebih dari rasa terima kasih, kamu layak mendapatkan itu. Selama ini kamu tidak tahu penyakit apa yang menderaku. Sebetulnya Ayah dan Ibu sudah memberitahukan semuanya, tapi mereka dan aku tak ingin merusak keceriaanmu, kerianganmu, dan menghapus senyum dari wajah cantikmu.
Aku menderita kanker otak dan sirosis hati. Jujur, ketika aku mendengar ini pertama kali dari Ibu yang menangis, aku sampai berharap kalau Tuhan mengambilku hari itu juga. Hatiku pedih mendengar kenyataan pahit ini. Tapi, ketika kulihat semangatmu untuk meraih hidup, aku langsung malu pada diriku sendiri. Kamu perempuan yang kuat. Kamu juga perempuan yang tahan banting meski masalah mendera tak henti-henti. Aku ingin sepertimu, saudara.
                Hatiku hancur saat mengetahui kalau kamu tak suka hanya berduaan saja denganku di rumah. Aku tak sengaja mendengar percakapan antara kamu, Ayah, dan Ibu kemarin malam sebelum keberangkatan mereka ke Jerman.
                “ Aku gak mau cuma berdua sama Rino aja, Yah-Bu! Aku takut dia mati kalau aku salah kasih obat! Aku gak sanggup ngurus dia sendiri! “ kata Fahrin histeris.
                “ Fahrin, kamu gak boleh gitu, kamu pasti bisa ngurus dia sebaik Ibu ngurus Rino. “ kata Ayah berusaha menenangkan Fahrin.
                Setelah itu aku bergegas berlalu dari kamar Ayah dan Ibu, jadi aku hanya sekilas mendengar suara Fahrin yang masih histeris. Dia tak tahu, sebetulnya Ayah dan Ibu pergi ke Jerman bukan untuk mengurus proyek ayah yang ada disana, tapi Ayah dan Ibu sedang mengurus operasiku nanti bulan Mei. Ayah tahu kalau kedokteran Jerman sudah berkembang pesat, dan Ayah bilang kalau ada temannya yang sukses menjalani operasi transplantasi hati dan pengangkatan kanker otak. Kebetulan Ayah punya client seorang dokter bedah disana yang sudah menjadi temannya, jadi teman Ayah yang dokter itu akan menangani operasi besarku ini. Ayah senang sekali dengan kabar bahagia ini. Tapi sayangnya Fahrin tidak boleh tahu, karena sedari awal dia tidak tahu apa sesungguhnya yang menggerogoti tubuhku ini. Akhirnya kami sepakat, Fahrina akan kami beritahu ketika hari keberangkatanku ke Jerman.
                Akhirnya, rasa sakit dikepalaku pelan-pelan mereda. Aku merasa sedikit tenang dengan Fahrin masih mendekapku erta-erat.
                Mungkin Fahrin menyadari kalau aku sudah berhenti kesakitan, “ gimana, No? Kamu udah baikan? Kepala kamu gak sakit lagi? “ bisiknya masih nyata khawatir.
                “ Udah enggak ko. “ bisikku serak.
                Kemudian Fahrin membantuku bangun dan memapahku ke dalam kamarku, lalu membaringkanku di tempat tidur. Sambil menyelimutiku, dia masih tampak sedih dan khawatir.
Kalau saja kamu tahu isi hatiku, aku berterima kasih sekali padamu, Fahrin.
                “ Malem ini aku tidur disini ya. Aku cuma mau mastiin kamu kalo kamu baik-baik aja aku tinggal besok. “ kata Fahrin sambil berbaring disebelah kananku.
                Aku hanya bisa mengangguk, takut kalau sakit kepalaku muncul lagi. Kemudian aku melihatnya memejamkan matanya yang indah. Aku tak mau dia kedinginan, jadi aku berbagi selimut dengannya. Banyak yang bilang kalau kami tidak seperti saudara kembar, kami lebih menyerupai sepasang kekasih. Apalagi jika kami hanya jalan-jalan berdua saja, rasanya semua mata menatap ke arah kami berdua.
                Fahrin sudah seperti ibu saja bagiku. Dia baik, lembut, meski terkadang menyebalkan dan kelewat cerewet, tapi kalau sehari tak menatapnya dan mendengar celotehannya yang sibuk menyuruhku meminum obatku rasanya aku merasa ada yang kurang. Kadang juga dia seperti adikku, meskipun sebenarnya aku adiknya. Kadang dia manja minta aku menemaninya tidur, memasak di dapur, atau mencuci baju di belakang rumah dengan alasan takut. Kadang juga aku menjadi teman curhatnya kalau dia sedang galau dengan Novak. Tapi tak jarang juga aku bercerita kalau aku sedang ada masalah dengan Amy.
                Novak baik sekali padaku, dia sudah seperti menganggapku adik laki-lakinya. Kalau saja dia bisa betul-betul menjadi bagian dari keluarga ini, aku akan senang sekali. Novak sering bercerita banyak padaku, tentang bagaimana Fahrin di kampus, kehidupannya sendiri yang bagiku extra ordinary, dan bagaimana perasaannya pada Fahrin.
                Rasanya seperti baru sedetik ketika aku terbangun keesokan paginya. Ketika kulihat sisi kananku, Fahrin sudah tidak ada. Sayup-sayup kudengar ada suara orang yang sedang sibuk di dapur rumah. Rupanya Fahrin sudah sibuk di dapur sepagi ini. Ketika kulihat jam dinding, masih pukul setengah enam pagi. Aku bangun dari dalam selimut dan berjalan menuju ruang tengah.
                “ Kamu udah bangun. “ sapa Fahrin sambil sibuk membuat teh dan roti panggang sebagai menu sarapan.
                Aku masih belum tersadar sepenuhnya, sambil menggosok-gosok mataku, kulihat di meja makan sudah tersedia berbagai macam selai, obat-obatanku, piring dan tea set keramik putih, pisau dan garpu, meja makan sudah rapi tertata. Tak lama Fahrin membawa sepiring roti panggang yang menguarkan aroma yang menggiurkan dan poci teh keramik putih juga. Aku duduk manis di meja makan, tak sabar memakan sarapan buatan Fahrin, selain karena perutku tak terisi apa-apa lagi sejak kemarin petang. Kami pun mulai makan. Tak tampak raut wajah khawatir di wajah Fahrin. Meskipun bukan sekali dua kali aku memergoki kalau Fahrin sedang menatapku dengan salah tingkah dan gelisah. Selesai sarapan aku mulai meminum obat-obatanku yang banyak itu.
                “ Amy mau dateng jam berapa? “ tanya Fahrin setelah lama hening.
                “ Jam sembilan lah. Kamu berangkat jam berapa? “ tanyaku balik.
                Fahrin menatap arloji hitam favoritnya dan sedikit kaget, “ aku berangkat sekarang ah. Udah jam enam aja. Kamu hati-hati ya di rumah. Jangan lupa minum obat oke. “ kata Fahrin sambil bangkit dari kursi dan segera mengambil tasnya dan kunci motornya, lalu berjalan ke halaman depan untuk mengeluarkan motornya.
                “ Bye bye Fahrin. Hati-hati ya. “ senyumku melepasnya pergi.
                Fahrin tersenyum riang padaku, lalu meluncur pergi meninggalkanku sendiri. Aku segera masuk kedalam rumah, senin pagi rasanya dingin sekali bagiku. Sambil menunggu jam sembilan, lebih baik aku tidur lagi saja.
                                                                                                * * *
                Aku terbangun mendadak oleh dering nyaring dari ponselku. Ternyata itu Amy meneleponku. “ Halo? “ kataku masih sedikit mengantuk.
                “ No, aku udah depan rumah nih. “ kata Amy dari telepon.
                “ Tungguin. Aku keluar sekarang. “ kataku menyudahi telepon dan mematikannya, lalu bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju luar rumah.
                Memang benar Amy sudah ada di depan rumah. Mobil kecilnya yang berwarna abu-abu metalik sudah terparkir rapi di depan rumahku. Tak lama perempuan paling cantik yang rambut panjangnya sekilas mirip rambut Fahrin turun dari dalam mobil. Aku menyambut Amy dengan membukakan gerbang depan rumah untuknya.
                “ Pagi Sayang. “ kata Amy sambil memelukku dan kemudian mencium pipi kananku dengan hangat.
                “ Pagi juga. Yuk masuk. “ kataku sambil menggandeng lengannya ke dalam rumah.
                “ Fahrin kuliah ya? “ tanyanya sambil duduk di ruang tengah disebelahku.
                “ Iya, nanti siang jam satuan lah dia bakal pulang dulu buat ngeliat aku masih hidup atau enggak. “ candaku pad Amy.
                “ Ih kamu, gak lucu banget sih bercandanya! “ kata Amy kesal dan kaget.
                Aku tertawa melihat ekspresinya yang kesal, marah, dan geli juga. Ekspresi wajah yang selalu dilontarkan oleh Fahrin kepadaku. “ Kamu udah sarapan belum? “ tanyaku sambil mengusap-usap kepalanya penuh sayang.
                “ Belum. Kok kamu tahu sih? “ tanyanya heran.
                “ Fahrin bikin roti panggang banyak tuh. Yuk sarapan dulu. “ ajakku sambil menarik lembut tangannya menuju meja makan.
                Amy mulai makan dengan semangat. Aku ikut mengunyah roti panggang yang tersisa di meja makan.
                “ Fahrin hebat ya. Bikin roti panggang gini aja enak. Kamu beruntung banget punya kakak kayak dia. Sayang banget sama adiknya yang nyebelin ini. “ kata Amy bercanda.
                Aku mencubit pipinya yang halus dan mulus. Setelah sarapan, aku menonton televisi dengan Amy.
                “ Ayah sama ibu kamu pulangnya kapan? “ tanya Amy.
                “ Masih lama, tiga minggu dari sekarang lah. “ kataku sambil menatap layar televisi. Sebetulnya aku masih ingin tidur, karena mataku ini rasanya lengket sekali ingin dipejamkan, tapi aku tahan dulu untuk Amy. “ Aku mau mandi dulu ya. “ kataku sambil bangkit dari sofa.
                “ Kamu belum mandi dari tadi? Ih jorok! “ kata Amy sambil mencubit tanganku, aku tertawa mendengar ucapannya dan segera pergi mandi. Setelah mandi rasanya segar sekali, tubuhku rasanya kembali seperti baru lahir lagi. Ketika berpakaian, aku melihat jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat lima belas menit. Aku pikir masih pukul setengah sepuluh.
                Ketika aku kembali menghampiri Amy di ruang tengah, kulihat dia tampak sedang khawatir dan panik.
                “ Sayang, ternyata aku ada kuliah mendadak jam sebelas nih, kalo aku pulang sekarang gak apa-apa? “ tanya Amy ketika aku duduk disampingnya di sofa.
                “ Ya udah gak apa-apa, makasih banyak ya udah nemenin aku. “ kataku sambil mencium pipinya yang sedikit tembam dan halus itu. Dia beranjak dari sofa sambil mengambil tasnya, lalu berjalan keluar rumah. Ketika melihat mobilnya meluncur pergi, aku merasakan hal yang selalu aku rasakan kalau melihat Fahrin pergi. Amy adalah perempuan paling cantik ketiga di dunia ini, setelah ibu dan Fahrin. Aku mendapatkan banyak kenyamanan dengan Amy. Sudah empat tahun dua bulan aku bersama-sama dengannya, sejak kelas sembilan SMP. Ketika mencari kekasih, aku ingin kekasihku nanti secantik, selembut, dan sehalus ibu, tetapi harus semanis, setegar, dan setegas Fahrin. Dan ternyata aku menemukan sosok itu pada Amy, bahkan lebih. Ketika Fahrin terkadang mendidikku terlalu keras, Amy bisa mengimbanginya dengan merangkul lembut diriku. Tetapi kalau Amy sedang cengeng dan kelewat manja, Fahrin bisa menghiburku kalau itu hanya untuk sejenak saja, kalau Amy besok hari sudah baik kembali.
                Aku berjalan kembali menuju kamarku yang sedikit rapi karena Fahrin merapikan kamarku tadi malam. Aku merebahkan tubuhku di dalam selimut yang hangat, menunggu jam satu ketika Fahrin pulang dan sudah membuat makan siang untuk kami.
                                                                                                * * *
                Rasanya baru semenit yang lalu aku memejamkan mataku ketika ada yang mengusap-usap kepalaku.
                “ No, bangun dulu. Makan siang terus minum obat ya. “ kata Fahrin lembut, lalu beranjak dari kamarku.
                Aku mengusap-usap mataku dan melihat jam di ponsel, sudah jam setengah dua. Aku bangun dengan perlahan, dan berjalan menuju ruang makan. Di meja makan, sudah ada nasi putih yang masih berasap dan harum pandan, sayur bening kesukaan kami berdua, dan obat-obatanku yang sudah tersaji.
                Kami mulai makan. Hari ini masakan Fahrin terasa lebih enak daripada biasanya. Masakan Fahrin terkadang terlalu asin, tapi tak jarang juga kurang garam sehingga aku harus menambahkan garam beberapa kali.
                “ Gimana, enak gak masakan aku? Tumben kamu gak nambahin garem kayak kemaren-kemaren? “ tanya Fahrin ketika kami sudah selesai makan.
                “ Enak kok, hebat kamu sekarang masaknya. “ kataku sambil mulai meminum obat-obatanku yang banyak itu. Ketika aku melihat jam di ruang tengah, sudah pukul dua lewat lima belas menit.
“ Kamu mau ke kampus jam berapa? “ tanyaku pada Fahrin yang sedang melihat ponselnya.
                “ Nanti deh jam setengah tiga. “ kata fahrin masih menatap ponselnya.
                “ Oh emang kamu nyampe kesini jam berapa tadi? “ tanyaku lagi.
                Fahrin diam sebentar, lalu meletakkan ponselnya di meja makan, “ sekitar jam dua belas lah. Pas aku nyampe kamu lagi tidur, ya udah aku masak dulu tadi. Oh iya, Amy pulang jam berapa tadi? “ tanya Fahrin padaku.
                “ Jam sepuluh lewat lima belas lah, soalnya dia ada kuliah dadakan. Eh, kata kamu Novak mau dateng jam berapa nanti sore? “ tanyaku tentang Novak.
                “ Jam empat jadinya. Barusan dia SMS aku, katanya jam empat sampe sini, terus aku udah bilang ada kamu ya di rumah, jadi kamu jangan keluyuran oke. “ kata Fahrin memperingatkan.
                “ Iya iya. “ kataku setengah nyengir padanya.
                Fahrin beranjak dari kursi dan melihat jam tangannya, “ aku pergi sekarang aja ya, pasti kejebak macet dulu di jalan. Hati-hati di rumah ya. “.
                “ Oke. “ kataku sambil berdiri juga dan berjalan masuk kamar ketika aku mendengar suara pintu menutup dari depan rumah, lalu suara deru motor Fahrin yang perlahan menghilang. Sambil menunggu Novak datang, aku membuka laptop dan main game online. Saat sedang seru-serunya, terdengar suara ketukan pintu depan. Aku kaget dan refleks melihat jam dinding, ternyata sudah pukul empat. Aku berjalan keluar dan membukakan pintu depan.
               
               
                

Tidak ada komentar: