Sabtu, 20 Oktober 2012

Pergi Tak Kembali


               
 Rumah sepi sepeninggal Novak. Yang terdengar saat ini hanya suara jangkrik di halaman belakang dan deru kendaraan di kejauhan. Aku sedang membereskan meja ruang tengah yang tampak berantakan. Rino sudah kembali ke kamar. Entah hanya mataku saja yang mulai tak beres karena sudah mengantuk atau memang wajah Rino tampak memucat. Ketika ada Novak pun wajah Rino sudah tampak lebih pucat, nafasnya seperti yang berat ketika berbicara.
                Sambil mencuci gelas dan piring kotor aku terus menajamkan telingaku, kalau-kalau terjadi sesuatu pada Rino. Akhirnya aku selesai juga mencuci piring. Kulihat jam dinding, sudah pukul setengah sepuluh malam. Aku tersentak karena Rino belum meminum obatnya. Aku segera menyiapkan obat-obatan Rino, kemudian menuju ke kamar Rino untuk membangunkannya.
                Aku memasuki kamar Rino yang, anehnya, gelap karena Rino mematikan lampunya. Aku menyalakan lampu tidur di meja samping tempat tidur Rino sehingga kamar menjadi menyala redup. Aku duduk di samping kiri Rino dan melihat Rino tampak tertidur pulas sekali. Aku tersenyum meliahtnya tertidur demikian.
                Ada yang salah, tak terasa hembusan nafas Rino didekatku, dada Rino pun tak tampak naik-turun seperti layaknya orang bernafas. Aku mulai panik, rasanya jantungku bocor melihat pemandangan ini. “ No, Rino, bangun, No. “ kataku sambil menepuk-nepuk pipinya. “ Rino, bangun, No, ini gak lucu sama sekali! “ panikku. Aku menyibakkan selimut Rino dan berusaha melakukan pertolongan pertama dengan memicu jantung Rino dengan teknik CPR. Setiap semenit aku mengecek barangkali ada degup jantung. “ Fahrino, bangun. Fahrino adik aku tolong bangun dong! “ tangisku panik sambil terus melakukan pertolongan pertama. Fahrino tak tampak merespon pertolonganku. Aku hanya bisa menangis sambil terus berusaha menolong Rino. Tiba-tiba terlintas Novak dibenakku. Aku segera berlari menuju ruang tengah memburu ponselku dan menelepon Novak.
                “ Novak, Rino meninggal, Rino meninggal! “ tangisku histeris ketika Novak mengangkat teleponku. “ Iya, kamu cepet ya kesininya ya. Bye. “ kataku  menyudahi pembicaraan sambil menangis dan berlari-lari menuju kamar Rino. Di dalam kamar Rino tetap terdiam, tak tampak bernyawa. Aku dengan paniknya berusaha menelepon Ibu dan Ayah, dan betapa murkanya aku ponsel keduanya mati. Aku hanya bisa menangis sambil menunggu Novak datang. Tak lama terdengar suara deru motor dan orang berlari, disusul oleh suara pintu depan yang terbuka.
                “ Rin? Fahrina? “ teriak Novak.
                “ Novak! “ balasku sambil menangis tersedu-sedu, tak mau meninggalkan sisi Rino.
                Novak menemukanku duduk meringkuk di lantai samping tempat tidur Rino. Dia tampak pucat kena angin dan rambutnya berantakan. Aku langsung memeluk Novak dan menangis sekerasnya. “ Rino, Vak. Rino! “ tangisku dalam dekapannya.
                Novak melepaskanku dan melihat Rino. Dia tampak membeku, sorot matanya dingin, bibirnya kelu kehilangan kata-kata. Kemudian Novak menyelubungi tubuh Rino dengan selimutnya agar aku tak usah melihatnya lagi. Novak meraih ponselnya di saku jaketnya dan menelepon seseorang.
                “ Halo, suster, tolong kirim ambulans ke Istana Sukajadi Blok B nomor tiga ya, cepat, di sini ada yang butuh pertolongan. “ kata Novak tanpa ekspresi, lalu menyudahi pembicaraan.
                Aku terus menangis dengan Novak merangkul bahuku ketika ambulans sudah datang. Aku di bawa keluar rumah oleh Novak, agar aku tak usah melihat Rino. Hatiku menjerit ketika melihat tandu terselubung dengan kain putih di bawa keluar oleh beberapa petugas ambulans melintas di depanku dan Novak. Banyak tetangga sekitar rumah yang berdatangan melihat ada apa ini. Tandu berisi tubuh belahan jiwaku sudah masuk ke dalam ambulans. Ketika aku dan Novak berjalan menuju ambulans, banyak tetangga yang menggumamkan simpati mereka yang tak dapat aku dengar dengan baik. Dunia rasanya silau dan buram. Aku terus mengisak bahkan ketika sedang berada didalam ambulans.
                “ Udah, Rin. “ bisik Novak memelukku, berusaha menghiburku.
                Aku tak mampu berkata-kata. Di mana Ibu dan Ayah dalam keadaan seperti ini? Kenapa ponsel mereka bisa mati dalam waktu yang bersamaan? Tuhan, kenapa ini semua harus terjadi?




Mungkin ini memang takdirku

Untuk terpisah dari belahan jiwa,

Buah hati yang selalu aku cinta


Mungkin ini jalan terbaik untukku

Agar aku tak menghilangkan

Senyum indah dari bibir manismu


Kasihmu yang tulus dan hangat

Akan selalu aku kenang

Cintamu yang berpendar

Dalam hati ini

Akan selalu membara

Untuk ribuan tahun


Teruntuk kekasih jiwaku,

Fahrina yang tersayang

Yang akan ada dihatiku

Hingga akhir masa

Tidak ada komentar: