![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhK0MzbvUfzh1SSGd-KeuNAwFkdt-BGO0z3XYA5VaE9GaEONb1cSNxow8SqYCdH3MYBZCSfl0MKeh6HfrU9u5wtVUCmMKC5bk6ZgcKuJ_EB6s0pV7j-zH2KEhMgozm9z_T7eVllON8dfd8/s1600/edward-bella-meadow.jpg)
Rumah sepi sepeninggal Novak.
Yang terdengar saat ini hanya suara jangkrik di halaman belakang dan deru
kendaraan di kejauhan. Aku sedang membereskan meja ruang tengah yang tampak
berantakan. Rino sudah kembali ke kamar. Entah hanya mataku saja yang mulai tak
beres karena sudah mengantuk atau memang wajah Rino tampak memucat. Ketika ada
Novak pun wajah Rino sudah tampak lebih pucat, nafasnya seperti yang berat
ketika berbicara.
Sambil mencuci gelas dan piring
kotor aku terus menajamkan telingaku, kalau-kalau terjadi sesuatu pada Rino.
Akhirnya aku selesai juga mencuci piring. Kulihat jam dinding, sudah pukul
setengah sepuluh malam. Aku tersentak karena Rino belum meminum obatnya. Aku
segera menyiapkan obat-obatan Rino, kemudian menuju ke kamar Rino untuk membangunkannya.
Aku memasuki kamar Rino yang,
anehnya, gelap karena Rino mematikan lampunya. Aku menyalakan lampu tidur di
meja samping tempat tidur Rino sehingga kamar menjadi menyala redup. Aku duduk
di samping kiri Rino dan melihat Rino tampak tertidur pulas sekali. Aku
tersenyum meliahtnya tertidur demikian.
Ada yang salah, tak terasa
hembusan nafas Rino didekatku, dada Rino pun tak tampak naik-turun seperti
layaknya orang bernafas. Aku mulai panik, rasanya jantungku bocor melihat
pemandangan ini. “ No, Rino, bangun, No. “ kataku sambil menepuk-nepuk pipinya.
“ Rino, bangun, No, ini gak lucu sama sekali! “ panikku. Aku menyibakkan
selimut Rino dan berusaha melakukan pertolongan pertama dengan memicu jantung
Rino dengan teknik CPR. Setiap semenit aku mengecek barangkali ada degup
jantung. “ Fahrino, bangun. Fahrino adik aku tolong bangun dong! “ tangisku
panik sambil terus melakukan pertolongan pertama. Fahrino tak tampak merespon
pertolonganku. Aku hanya bisa menangis sambil terus berusaha menolong Rino. Tiba-tiba
terlintas Novak dibenakku. Aku segera berlari menuju ruang tengah memburu
ponselku dan menelepon Novak.
“ Novak, Rino meninggal, Rino
meninggal! “ tangisku histeris ketika Novak mengangkat teleponku. “ Iya, kamu
cepet ya kesininya ya. Bye. “ kataku
menyudahi pembicaraan sambil menangis dan berlari-lari menuju kamar
Rino. Di dalam kamar Rino tetap terdiam, tak tampak bernyawa. Aku dengan
paniknya berusaha menelepon Ibu dan Ayah, dan betapa murkanya aku ponsel
keduanya mati. Aku hanya bisa menangis sambil menunggu Novak datang. Tak lama
terdengar suara deru motor dan orang berlari, disusul oleh suara pintu depan
yang terbuka.
“ Rin? Fahrina? “ teriak Novak.
“ Novak! “ balasku sambil
menangis tersedu-sedu, tak mau meninggalkan sisi Rino.
Novak menemukanku duduk
meringkuk di lantai samping tempat tidur Rino. Dia tampak pucat kena angin dan
rambutnya berantakan. Aku langsung memeluk Novak dan menangis sekerasnya. “
Rino, Vak. Rino! “ tangisku dalam dekapannya.
Novak melepaskanku dan melihat
Rino. Dia tampak membeku, sorot matanya dingin, bibirnya kelu kehilangan
kata-kata. Kemudian Novak menyelubungi tubuh Rino dengan selimutnya agar aku
tak usah melihatnya lagi. Novak meraih ponselnya di saku jaketnya dan menelepon
seseorang.
“ Halo, suster, tolong kirim
ambulans ke Istana Sukajadi Blok B nomor tiga ya, cepat, di sini ada yang butuh
pertolongan. “ kata Novak tanpa ekspresi, lalu menyudahi pembicaraan.
Aku terus menangis dengan Novak
merangkul bahuku ketika ambulans sudah datang. Aku di bawa keluar rumah oleh
Novak, agar aku tak usah melihat Rino. Hatiku menjerit ketika melihat tandu
terselubung dengan kain putih di bawa keluar oleh beberapa petugas ambulans
melintas di depanku dan Novak. Banyak tetangga sekitar rumah yang berdatangan
melihat ada apa ini. Tandu berisi tubuh belahan jiwaku sudah masuk ke dalam
ambulans. Ketika aku dan Novak berjalan menuju ambulans, banyak tetangga yang
menggumamkan simpati mereka yang tak dapat aku dengar dengan baik. Dunia
rasanya silau dan buram. Aku terus mengisak bahkan ketika sedang berada didalam
ambulans.
“ Udah, Rin. “ bisik Novak
memelukku, berusaha menghiburku.
Aku tak mampu berkata-kata. Di
mana Ibu dan Ayah dalam keadaan seperti ini? Kenapa ponsel mereka bisa mati
dalam waktu yang bersamaan? Tuhan, kenapa ini semua harus terjadi?
Mungkin ini memang takdirku
Untuk terpisah dari belahan jiwa,
Buah hati yang selalu aku cinta
Mungkin ini jalan terbaik untukku
Agar aku tak menghilangkan
Senyum indah dari bibir manismu
Kasihmu yang tulus dan hangat
Akan selalu aku kenang
Cintamu yang berpendar
Dalam hati ini
Akan selalu membara
Untuk ribuan tahun
Teruntuk kekasih jiwaku,
Fahrina yang tersayang
Yang akan ada dihatiku
Hingga akhir masa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar