Sabtu, 20 Oktober 2012

Novak


                
Ketika pintu rumah orang yang paling aku cintai terbuka, muncul sesosok remaja laki-laki yang berwajah putih, pucat, dan tampan dari baliknya mengenakan pakaian rumah santai yang sudah beberapa kali aku lihat. Remaja laki-laki itu tersenyum melihatku berdiri dihadapannya.
                “ Hei Novak, udah lama gak liat kamu. “ kata remaja laki-laki yang sekilas mirip Fahrina menyalamiku.
                Aku menyambut tangannya yang terasa agak dingin bagiku dan tersenyum, “ iya nih aku kan sekarang sibuk nyusun TA. “ kataku hangat.
                Kami berhenti jabatan tangan dan masuk ke dalam rumah. Aku dibawanya masuk ke dalam ruang tengah rumahnya yang nyaman dan duduk di sofa sementara dia mengambilkanku secangkir minuman.
                “ Tadi Fahrin kesini dulu gak? “ tanyaku ketika dia duduk disampingku dan secangkir teh hangat tersaji didepanku sekarang.
                “ Iya, tadi jam dua belasan lah, terus dia pergi lagi tapinya jam setengah tiga kurang. Kapan mulai sidang nih? “ tanyanya.
                “ Yah kalau lancar, agustus udah sidang lah. Doain ya. “ kataku sambil menepuk bahunya yang terasa agak bertulang bagiku.
                Rino tertawa mendengar ucapanku. Kemudian dia menyalakan televisi dan beranjak sebentar meninggalkanku. Sambil menatap layar televisi, pikiranku melayang kemana-mana setelah otakku panas ketika dosen pembimbingku, Pak Abdul mencercaku habis-habisan mengenai Tugas Akhir yang baru rampung tadi malam, mengingat dead-line Tugas Akhir ini tadi pagi. Tak apa lah dia mencecarku, karena dia adalah Dosen Utama di sidang nanti, jadi kalau dia banyak memberikan revisi, aku sudah tenang tak perlu melakukan revisi lagi nanti kalau akan sidang.
Pandanganku tentang Fahrin dan Rino sungguh menarik hati. Pertama kali aku melihat Fahrin, hatiku seakan terikat padanya. Aku mempunyai firasat kalau aku akan bersamanya hingga akhir hayat. Kelak, kalau dia sudah lulus, aku ingin melamarnya untuk menjadikannya wanitaku yang pertama dan terakhir.  Dia perempuan yang baik, cantik, selembut dan selemah seperti seorang putri kecil, tetapi dia bisa setegar batu karang dan sekuat ombak samudera. Dia bisa jadi sangat kekanakan kalau pusing menghadapi tugas kuliah dan pekerjaan rumah yang banyak, tapi dia juga menjadi segarang singa betina kalau dia sedang memimpin teman-temannya dalam hal yang menuntutnya menjadi pemimpin.
                Mengenai Rino, anak ini sungguh unik. Pasti banyak anak perempuan yang naksir padanya, karena menurutku dia anak laki-laki yang tampan dan sangat menghormati perempuan, dari yang aku lihat selama ini, baik dari cerita-cerita Fahrin atau yang aku lihat dengan mataku sendiri. Satu hal yang aku sayangkan adalah dia menderita penyakit yang mungkin sekali mengambil hidupnya setiap saat. Aku ikut sedih ketika mendengar cerita kalau Fahrin pun tidak tahu mengenai penyakit Rino, karena keluarga ini tidak mau kehilangan senyum hangat dari Fahrin.
                Saat itu Sabtu pagi, Fahrin mahasiswa semester satu akhir dan aku mahasiswa semester lima akhir. Dua minggu lagi kami Ujian Akhir Semester dan aku baru saja jadian dengan Fahrin selama dua minggu. Kami pedekate selama dua minggu, dua minggu yang berkesan menurutku. Katanya, dulu Fahrin selalu gemetar ketakutan melihatku. Mendengar namaku disebut saja dia sudah ngeri, tapi akhirnya dia luluh dengan pendekatanku yang amat sangat hati-hati. Dua minggu kami jadian, Fahrin ingin mengenalkan aku pada adik kembarnya, Fahrino, atau Rino. Fahrin bilang, sebelum bertemu dengan ke dua orang tuanya, dia selalu mengenalkan semua teman laki-lakinya pada Rino, karena dia percaya sepenuhnya pada Rino. Dia yakin Rino bisa membedakan mana orang yang baik dan yang tidak pada Fahrin. Aku pun setuju untuk bertemu dengan Rino terlebih dahulu, sebelum pada ke dua orang tuanya.
                Sabtu pagi tanggal 15 November, aku yang berpakaian sebaik mungkin dan serapi mungkin dengan percaya diri membawa motorku menuju rumah Fahrin. Pukul sepuluh pagi, aku sudah berdiri di depan pintu rumah Fahrin. Aku sengaja membeli tart coklat kecil, karena katanya Rino suka sekali dengan tart coklat. Aku mengetuk pintu rumah Fahrin dengan perlahan.
                Dari balik pintu muncul Fahrin yang bagiku sangat cantik hari itu. Aku masih ingat jelas sekali, kemeja biru garis dan celana jins biru lusuh dan rambut terurai membingkai wajahnya. Dimataku, dia tampak sangat mengesankan meski jauh dari kesan anggun dan feminim. Aku suka perempuan yang tidak terlalu feminin tapi tidak terlalu maskulin juga. Aku mendapatkan itu dari Fahrin.
                “ Halo Novak, masuk yuk? Udah ada yang nungguin tuh. “ kata Fahrin sambil menarik lengan kananku, mengajakku masuk ke dalam rumahnya.
                Ketika aku masuk ke dalam rumah, suasana rumah sepi sekali, bahkan suara tonggeret di kejauhan yang aku sendiri tidak tahu keberadaannya pun terdengar jelas. Tak lama aku tiba di ruang keluarga, di mana di sana duduk seorang remaja yang umurnya tak jauh berbeda dari Fahrin sendiri.
Dia duduk dengan lemas di sofa yang menghadap ke ruang depan. Dia memakai sweter putih dan celana panjang hitam. Rambutnya tampak acak-acakan dan sedikit tak terurus. Aku melangkah lebih jauh ke dalam ruang keluarga yang berkarpet coklat tua itu. Kulihat sekarang, wajah Adik kembar Fahrin tampak semakin jelas. Wajahnya tirus, matanya dibayangi lingkaran hitam seperti orang sedang sakit, bibirnya pucat tak berwarna, dan yang paling membuatku tak bisa mengalihkan pandangannku adalah sorot mata dan ekspresi wajahnya yang secara keseluruhan menunjukkan kalau dia sakit parah.
“ Novak, ini adik aku, namanya Fahrino Novan Ibrahim, tapi dia biasa dipanggil Rino. “ kata Fahrin sambil berdiri disampingku dan di depan Rino, adik kembar Fahrin.
Aku bertumpu pada kedua lututku menghadapnya dan menggenggam tangan kanannya sambil berbicara pelan padanya- untuk sekian detik aku merasakan firasat buruk tentang Rino, “ hai Rino, aku Novak Abraham, kamu boleh panggil aku Novak. “
Tidak ada hujan dan angin, tanpa ada peringatan sebelumnya, mendadak Rino memuntahkan darah segar berwarna kehitaman dari mulutnya ke wajah dan tubuh bagian depanku, mengotori jaket biru dan putih kesayanganku.
“ RINOOOOOOOO!!!!!!” jerit Fahrin sambil mengguncang-guncang tubuh Rino.
Tak lama, Rino jatuh kedalam pelukanku. “ Fahrin ini gimana? “ kataku panik dan histeris padanya.
                “ Tunggu! Aku ambilin obatnya dulu. “ kata Fahrin histeris dan berlari-lari menuju ruangan lain.
                Aku membaringkan tubuh Rino di sofa dan berusaha membangunkan Rino. Detak jantungnya ada, tapi nafasnya lemah. Sambil berusaha membangunkannya aku berdoa sepenuh hati agar Tuhan tidak mengambil Rino. Tak lama muncul Fahrin, sambil membawakan obat dan suntikan. Fahrin menyuntik Rino dengan gemetar, lalu menyiapkan obat-obatan Rino. Aku mengelap darah yang ada disekitar mulut dan dagu Rino. Beberapa menit kemudian, Rino membuka mata dan terbatuk-batuk, batuk yang berdarah dan tampak menyakitkan. Aku berusaha menyeka darah di mulut Rino sementara Fahrin mulai meminumkan obat pada Rino yang tampak sangat kesakitan. Setelah obat yang diberikan Fahrin ditelannya, Rino mulai tampak tenang.
                “ Gimana? Masih sakit? “ tanya Fahrin pelan pada Rino.
                Rino hanya diam, dan aku kaget karena sebutir air mata menetes dari matanya. Aku segera menyekanya, entah kenapa aku pun ingin ikut meneteskan air mata.
                Fahrin tampak ingin menangis, dan suaranya bergetar ketika berkata, “ kamu tenang aja, sakitnya bakal hilang kok sebentar lagi. “
                Aku, yang orang asing di antara mereka, hanya bisa terdiam dan merangkul bahu Fahrin dan menggenggam tangan Rino. Seperti yang sudah aku ramalkan, Fahrin menangis juga di atas tubuh Rino. Aku hanya bisa mengusap-usap punggung Fahrin dengan prihatin.
                “ Rino, kamu jangan sedih. Kalau kamu sedih, Fahrin juga ikut sedih. Kamu jangan takut, Fahrin sama aku pasti ada buat kamu. “ kataku bingung pada Rino.
                Aku tak menyangka, Rino mau mendengar ucapanku, “ aku gak sedih, aku cuma takut mati sekarang. “.
                “ Shhh, kamu gak boleh ngomong gitu. “ aku semakin bingung sekarang, mau berbicara apa lagi untuk menenangkan hati Rino.
                Itulah pertemuan pertamaku dengan Rino, meski dia muntah darah di pertemuan pertama kali, tapi itu tidak membuatku lantas ingin meninggalkan Fahrin dan Rino. Aku cukup salut pada Rino dan semangatnya untuk terus hidup.
                “ Woi, ngelamun lu. “ Rino membuyarkan lamunanku seketika.
                “ Hah? Sedih gue, gue takut TA gue gagal nih. “ kataku ketika Rino mengambil tempat disamping kananku.
                Terdengar suara pintu depan terbuka, kemudian menutup. Pasti itu Fahrin. Dan ketika aku menoleh kebelakang, benar saja itu dia, tampak lelah dan kusut. Tapi ketika dia melihatku dan Rino, wajahnya langsung cerah ceria.
                “ Halo cowok-cowok ganteng. “ katanya sambil menghampiriku, lalu mencium pipiku dan pipi Rino. “ Kamu udah lama, sayang? “ tanyanya padaku.
                “ Sekitar setengah jam yang lalu deh. “ jawabku ketika dia mengambil tempat diantara aku dan Rino.
                “ No, kamu sakit lagi gak? “ tanya Fahrin sambil memegangi kepala Rino.
                “ Enggak, kok. “ jawabnya lembut.
                “ Oh iya, aku mau masak makan malem dulu ya buat kita. Kalian pasti udah pada lapar. “ katanya sambil bangkit berdiri.
                Aku dan Rino hanya membantu seadanya saja, karena ketika kulihat Fahrin hanya membuat sayur bening saja, dan nasi sudah masak dari tadi, sisa makan siang rupanya. Setelah semua tersaji di meja makan, kami mulai makan.
                “ TA kamu lancar, Vak? “ tanya Fahrin sambil menyiapkan obat-obatan Rino.
                “ Yah, tadi dead-line­­-nya. Minggu depan revisi-revisi lagi lah. Minta ampun deh ini ribetnya. “ kataku sambil menghela napas panjang.
                Kemudian suasana hening. Karena kehabisan bahan pembicaraan, aku hannya bisa memperhatikan Rino yang sedang minum obat. Aku tahu betul kalau sebenarnya Rino benci meminum semua obat itu. Agar tak mati gaya, kuputuskan untuk memutar-mutar saluran televisi, mencari acara yang seru. Kami pun menyelesaikan makan malam dalam keadaan hening.
                “ Besok kamu masih ke kampus? “ tanya Fahrin padaku.                “ Masih, pokoknya terakhir ke kampus tuh nanti tanggal 15 mei soalnya tanggal itu tuh hari terakhir UAS. Setelah itu libur sambil ngerjain TA. Doain aku ya Sayang. “ kataku sambil menggenggam tangan kanannya yang berkulit halus tapi kencang bagiku.
                Fahrin tersenyum menatapku, tatapan yang hangat, bersahabat, dan menenangkan itu selalu dapat membuatku sejenak melupakan permasalahan-permasalahanku yang banyak, beruntung sekali Rino memiliki kembaran seperti Fahrin dan, bagiku, betapa beruntungnya juga diriku bisa setiap saat melihat tatapan Fahrin itu.
                Ketika aku melihat jam di telepon genggamku, betapa kagetnya diriku karena jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan. “ Sayang, udah jam segini ternyata. Gak kerasa emang waktu tuh kalo lagi di rumah ini. Besok kamu kuliah kan, nah aku pulang dulu, ya. “ kataku sambil melepaskan genggamanku pada Fahrin.
                “Oh iya ya, ya ampun aku kira masih jam berapa gitu. “ kata Fahrin ikutan kaget sepertiku ketika melihat jam di dinding.
                “ Kamu buru-buru banget sih, udah main dulu disini. “ kata Rino berdiri ketika aku dan Fahrin berdiri.
                “ Pengennya sih aku masih disini, gak tau deh, kok betah banget disini tuh. Tapi, besok Fahrin kuliah pagi dan aku gak mau dia telat atau bolos. “ kataku sambil mengelus kepala Fahrin,  lalu mencium dahi Fahrin. “ Jagain Rino ya. Kalau ada apa-apa, telepon aku aja. “ kataku lagi.
“ Lu baik-baik ya malem ini, No. Jangan ngelakuin hal yang aneh-aneh ya. “ kataku sambil menepuk bahu Rino, lalu mengambil tasku dan berjalan, dilepas oleh Fahrin dan Rino.
                “ Bye bye! “ kata Fahrin melepasku.
                Aku tersenyum dan melambai pada kedua orang yang aku sayangi, dan aku memacu motorku menuju rumahku yang berjarak lumayan dari sini.
                Sepanjang perjalanan pulang, aku terus memikirkan Fahrin dan Rino. Tuhan, aku betul-betul sayang pada Fahrin, dia perempuan terbaik yang pernah aku temui selain ibuku. Aku juga sayang pada Rino, laki-laki paling tegar yang pernah aku kenal. Sekali lagi Tuhan, jaga selalu Rino, jangan biarkan Rino kehilangan kesempatannya untuk sembuh dan sehat seperti yang lainnya, lindungi Fahrin agar tetap tegar menghadapi kehidupan ini dan jangan biarkan semangat Fahrin untuk menjaga Rino padam.

Tidak ada komentar: