![](http://farm5.static.flickr.com/4096/4750214633_aae98915fa.jpg)
Ketika pintu
rumah orang yang paling aku cintai terbuka, muncul sesosok remaja laki-laki
yang berwajah putih, pucat, dan tampan dari baliknya mengenakan pakaian rumah
santai yang sudah beberapa kali aku lihat. Remaja laki-laki itu tersenyum
melihatku berdiri dihadapannya.
“ Hei Novak, udah
lama gak liat kamu. “ kata remaja laki-laki yang sekilas mirip Fahrina
menyalamiku.
Aku menyambut
tangannya yang terasa agak dingin bagiku dan tersenyum, “ iya nih aku kan
sekarang sibuk nyusun TA. “ kataku hangat.
Kami berhenti
jabatan tangan dan masuk ke dalam rumah. Aku dibawanya masuk ke dalam ruang
tengah rumahnya yang nyaman dan duduk di sofa sementara dia mengambilkanku
secangkir minuman.
“ Tadi Fahrin
kesini dulu gak? “ tanyaku ketika dia duduk disampingku dan secangkir teh
hangat tersaji didepanku sekarang.
“ Iya, tadi jam
dua belasan lah, terus dia pergi lagi tapinya jam setengah tiga kurang. Kapan
mulai sidang nih? “ tanyanya.
“ Yah kalau
lancar, agustus udah sidang lah. Doain ya. “ kataku sambil menepuk bahunya yang
terasa agak bertulang bagiku.
Rino tertawa
mendengar ucapanku. Kemudian dia menyalakan televisi dan beranjak sebentar
meninggalkanku. Sambil menatap layar televisi, pikiranku melayang kemana-mana
setelah otakku panas ketika dosen pembimbingku, Pak Abdul mencercaku
habis-habisan mengenai Tugas Akhir yang baru rampung tadi malam, mengingat dead-line Tugas Akhir ini tadi pagi. Tak
apa lah dia mencecarku, karena dia adalah Dosen Utama di sidang nanti, jadi
kalau dia banyak memberikan revisi, aku sudah tenang tak perlu melakukan revisi
lagi nanti kalau akan sidang.
Pandanganku tentang Fahrin dan Rino sungguh menarik
hati. Pertama kali aku melihat Fahrin, hatiku seakan terikat padanya. Aku
mempunyai firasat kalau aku akan bersamanya hingga akhir hayat. Kelak, kalau
dia sudah lulus, aku ingin melamarnya untuk menjadikannya wanitaku yang pertama
dan terakhir. Dia perempuan yang baik,
cantik, selembut dan selemah seperti seorang putri kecil, tetapi dia bisa
setegar batu karang dan sekuat ombak samudera. Dia bisa jadi sangat kekanakan
kalau pusing menghadapi tugas kuliah dan pekerjaan rumah yang banyak, tapi dia
juga menjadi segarang singa betina kalau dia sedang memimpin teman-temannya
dalam hal yang menuntutnya menjadi pemimpin.
Mengenai Rino,
anak ini sungguh unik. Pasti banyak anak perempuan yang naksir padanya, karena
menurutku dia anak laki-laki yang tampan dan sangat menghormati perempuan, dari
yang aku lihat selama ini, baik dari cerita-cerita Fahrin atau yang aku lihat
dengan mataku sendiri. Satu hal yang aku sayangkan adalah dia menderita
penyakit yang mungkin sekali mengambil hidupnya setiap saat. Aku ikut sedih
ketika mendengar cerita kalau Fahrin pun tidak tahu mengenai penyakit Rino,
karena keluarga ini tidak mau kehilangan senyum hangat dari Fahrin.
Saat itu Sabtu
pagi, Fahrin mahasiswa semester satu akhir dan aku mahasiswa semester lima
akhir. Dua minggu lagi kami Ujian Akhir Semester dan aku baru saja jadian
dengan Fahrin selama dua minggu. Kami pedekate selama dua minggu, dua minggu
yang berkesan menurutku. Katanya, dulu Fahrin selalu gemetar ketakutan
melihatku. Mendengar namaku disebut saja dia sudah ngeri, tapi akhirnya dia
luluh dengan pendekatanku yang amat sangat hati-hati. Dua minggu kami jadian,
Fahrin ingin mengenalkan aku pada adik kembarnya, Fahrino, atau Rino. Fahrin
bilang, sebelum bertemu dengan ke dua orang tuanya, dia selalu mengenalkan
semua teman laki-lakinya pada Rino, karena dia percaya sepenuhnya pada Rino.
Dia yakin Rino bisa membedakan mana orang yang baik dan yang tidak pada Fahrin.
Aku pun setuju untuk bertemu dengan Rino terlebih dahulu, sebelum pada ke dua
orang tuanya.
Sabtu pagi
tanggal 15 November, aku yang berpakaian sebaik mungkin dan serapi mungkin
dengan percaya diri membawa motorku menuju rumah Fahrin. Pukul sepuluh pagi,
aku sudah berdiri di depan pintu rumah Fahrin. Aku sengaja membeli tart coklat
kecil, karena katanya Rino suka sekali dengan tart coklat. Aku mengetuk pintu
rumah Fahrin dengan perlahan.
Dari balik pintu
muncul Fahrin yang bagiku sangat cantik hari itu. Aku masih ingat jelas sekali,
kemeja biru garis dan celana jins biru lusuh dan rambut terurai membingkai
wajahnya. Dimataku, dia tampak sangat mengesankan meski jauh dari kesan anggun
dan feminim. Aku suka perempuan yang tidak terlalu feminin tapi tidak terlalu
maskulin juga. Aku mendapatkan itu dari Fahrin.
“ Halo Novak,
masuk yuk? Udah ada yang nungguin tuh. “ kata Fahrin sambil menarik lengan
kananku, mengajakku masuk ke dalam rumahnya.
Ketika aku masuk
ke dalam rumah, suasana rumah sepi sekali, bahkan suara tonggeret di kejauhan
yang aku sendiri tidak tahu keberadaannya pun terdengar jelas. Tak lama aku
tiba di ruang keluarga, di mana di sana duduk seorang remaja yang umurnya tak
jauh berbeda dari Fahrin sendiri.
Dia duduk dengan lemas di sofa yang menghadap ke
ruang depan. Dia memakai sweter putih dan celana panjang hitam. Rambutnya
tampak acak-acakan dan sedikit tak terurus. Aku melangkah lebih jauh ke dalam
ruang keluarga yang berkarpet coklat tua itu. Kulihat sekarang, wajah Adik
kembar Fahrin tampak semakin jelas. Wajahnya tirus, matanya dibayangi lingkaran
hitam seperti orang sedang sakit, bibirnya pucat tak berwarna, dan yang paling
membuatku tak bisa mengalihkan pandangannku adalah sorot mata dan ekspresi
wajahnya yang secara keseluruhan menunjukkan kalau dia sakit parah.
“ Novak, ini adik aku, namanya Fahrino Novan
Ibrahim, tapi dia biasa dipanggil Rino. “ kata Fahrin sambil berdiri disampingku
dan di depan Rino, adik kembar Fahrin.
Aku bertumpu pada kedua lututku menghadapnya dan
menggenggam tangan kanannya sambil berbicara pelan padanya- untuk sekian detik
aku merasakan firasat buruk tentang Rino, “ hai Rino, aku Novak Abraham, kamu
boleh panggil aku Novak. “
Tidak ada hujan dan angin, tanpa ada peringatan
sebelumnya, mendadak Rino memuntahkan darah segar berwarna kehitaman dari
mulutnya ke wajah dan tubuh bagian depanku, mengotori jaket biru dan putih
kesayanganku.
“ RINOOOOOOOO!!!!!!” jerit Fahrin sambil
mengguncang-guncang tubuh Rino.
Tak lama, Rino jatuh kedalam pelukanku. “ Fahrin
ini gimana? “ kataku panik dan histeris padanya.
“ Tunggu! Aku
ambilin obatnya dulu. “ kata Fahrin histeris dan berlari-lari menuju ruangan
lain.
Aku membaringkan
tubuh Rino di sofa dan berusaha membangunkan Rino. Detak jantungnya ada, tapi
nafasnya lemah. Sambil berusaha membangunkannya aku berdoa sepenuh hati agar
Tuhan tidak mengambil Rino. Tak lama muncul Fahrin, sambil membawakan obat dan
suntikan. Fahrin menyuntik Rino dengan gemetar, lalu menyiapkan obat-obatan
Rino. Aku mengelap darah yang ada disekitar mulut dan dagu Rino. Beberapa menit
kemudian, Rino membuka mata dan terbatuk-batuk, batuk yang berdarah dan tampak
menyakitkan. Aku berusaha menyeka darah di mulut Rino sementara Fahrin mulai
meminumkan obat pada Rino yang tampak sangat kesakitan. Setelah obat yang
diberikan Fahrin ditelannya, Rino mulai tampak tenang.
“ Gimana? Masih
sakit? “ tanya Fahrin pelan pada Rino.
Rino hanya diam,
dan aku kaget karena sebutir air mata menetes dari matanya. Aku segera
menyekanya, entah kenapa aku pun ingin ikut meneteskan air mata.
Fahrin tampak
ingin menangis, dan suaranya bergetar ketika berkata, “ kamu tenang aja,
sakitnya bakal hilang kok sebentar lagi. “
Aku, yang orang
asing di antara mereka, hanya bisa terdiam dan merangkul bahu Fahrin dan menggenggam
tangan Rino. Seperti yang sudah aku ramalkan, Fahrin menangis juga di atas
tubuh Rino. Aku hanya bisa mengusap-usap punggung Fahrin dengan prihatin.
“ Rino, kamu
jangan sedih. Kalau kamu sedih, Fahrin juga ikut sedih. Kamu jangan takut, Fahrin
sama aku pasti ada buat kamu. “ kataku bingung pada Rino.
Aku tak
menyangka, Rino mau mendengar ucapanku, “ aku gak sedih, aku cuma takut mati
sekarang. “.
“ Shhh, kamu gak
boleh ngomong gitu. “ aku semakin bingung sekarang, mau berbicara apa lagi untuk
menenangkan hati Rino.
Itulah pertemuan
pertamaku dengan Rino, meski dia muntah darah di pertemuan pertama kali, tapi
itu tidak membuatku lantas ingin meninggalkan Fahrin dan Rino. Aku cukup salut
pada Rino dan semangatnya untuk terus hidup.
“ Woi, ngelamun
lu. “ Rino membuyarkan lamunanku seketika.
“ Hah? Sedih gue,
gue takut TA gue gagal nih. “ kataku ketika Rino mengambil tempat disamping
kananku.
Terdengar suara
pintu depan terbuka, kemudian menutup. Pasti itu Fahrin. Dan ketika aku menoleh
kebelakang, benar saja itu dia, tampak lelah dan kusut. Tapi ketika dia
melihatku dan Rino, wajahnya langsung cerah ceria.
“ Halo
cowok-cowok ganteng. “ katanya sambil menghampiriku, lalu mencium pipiku dan
pipi Rino. “ Kamu udah lama, sayang? “ tanyanya padaku.
“ Sekitar
setengah jam yang lalu deh. “ jawabku ketika dia mengambil tempat diantara aku
dan Rino.
“ No, kamu sakit
lagi gak? “ tanya Fahrin sambil memegangi kepala Rino.
“ Enggak, kok. “
jawabnya lembut.
“ Oh iya, aku mau
masak makan malem dulu ya buat kita. Kalian pasti udah pada lapar. “ katanya
sambil bangkit berdiri.
Aku dan Rino
hanya membantu seadanya saja, karena ketika kulihat Fahrin hanya membuat sayur
bening saja, dan nasi sudah masak dari tadi, sisa makan siang rupanya. Setelah
semua tersaji di meja makan, kami mulai makan.
“ TA kamu lancar,
Vak? “ tanya Fahrin sambil menyiapkan obat-obatan Rino.
“ Yah, tadi dead-line-nya. Minggu depan
revisi-revisi lagi lah. Minta ampun deh ini ribetnya. “ kataku sambil menghela
napas panjang.
Kemudian suasana
hening. Karena kehabisan bahan pembicaraan, aku hannya bisa memperhatikan Rino
yang sedang minum obat. Aku tahu betul kalau sebenarnya Rino benci meminum
semua obat itu. Agar tak mati gaya, kuputuskan untuk memutar-mutar saluran
televisi, mencari acara yang seru. Kami pun menyelesaikan makan malam dalam
keadaan hening.
“ Besok kamu
masih ke kampus? “ tanya Fahrin padaku. “
Masih, pokoknya terakhir ke kampus tuh nanti tanggal 15 mei soalnya tanggal itu
tuh hari terakhir UAS. Setelah itu libur sambil ngerjain TA. Doain aku ya
Sayang. “ kataku sambil menggenggam tangan kanannya yang berkulit halus tapi
kencang bagiku.
Fahrin tersenyum
menatapku, tatapan yang hangat, bersahabat, dan menenangkan itu selalu dapat
membuatku sejenak melupakan permasalahan-permasalahanku yang banyak, beruntung
sekali Rino memiliki kembaran seperti Fahrin dan, bagiku, betapa beruntungnya
juga diriku bisa setiap saat melihat tatapan Fahrin itu.
Ketika aku
melihat jam di telepon genggamku, betapa kagetnya diriku karena jam sudah
menunjukkan pukul setengah sembilan. “ Sayang, udah jam segini ternyata. Gak
kerasa emang waktu tuh kalo lagi di rumah ini. Besok kamu kuliah kan, nah aku
pulang dulu, ya. “ kataku sambil melepaskan genggamanku pada Fahrin.
“Oh iya ya, ya
ampun aku kira masih jam berapa gitu. “ kata Fahrin ikutan kaget sepertiku
ketika melihat jam di dinding.
“ Kamu buru-buru
banget sih, udah main dulu disini. “ kata Rino berdiri ketika aku dan Fahrin
berdiri.
“ Pengennya sih
aku masih disini, gak tau deh, kok betah banget disini tuh. Tapi, besok Fahrin
kuliah pagi dan aku gak mau dia telat atau bolos. “ kataku sambil mengelus
kepala Fahrin, lalu mencium dahi Fahrin.
“ Jagain Rino ya. Kalau ada apa-apa, telepon aku aja. “ kataku lagi.
“ Lu baik-baik ya malem ini, No. Jangan ngelakuin hal yang aneh-aneh
ya. “ kataku sambil menepuk bahu Rino, lalu mengambil tasku dan berjalan,
dilepas oleh Fahrin dan Rino.
“ Bye bye! “ kata
Fahrin melepasku.
Aku tersenyum dan
melambai pada kedua orang yang aku sayangi, dan aku memacu motorku menuju
rumahku yang berjarak lumayan dari sini.
Sepanjang
perjalanan pulang, aku terus memikirkan Fahrin dan Rino. Tuhan, aku betul-betul
sayang pada Fahrin, dia perempuan terbaik yang pernah aku temui selain ibuku.
Aku juga sayang pada Rino, laki-laki paling tegar yang pernah aku kenal. Sekali
lagi Tuhan, jaga selalu Rino, jangan biarkan Rino kehilangan kesempatannya
untuk sembuh dan sehat seperti yang lainnya, lindungi Fahrin agar tetap tegar
menghadapi kehidupan ini dan jangan biarkan semangat Fahrin untuk menjaga Rino
padam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar