Sabtu, 20 Oktober 2012

Fahrina


Minggu yang suram, mendung, dan dingin karena sudah hujan sejak pagi tadi. Hari ini aku hanya berdua saja dengan kembaranku yang hanya berbeda lima menit denganku, Fahrino Novan Ibrahim. Ayah dan ibu sedang pergi ke Jerman karena katanya proyek ayah yang disana sedang ada sedikit masalah dan Ayah meminta Ibu menemaninya selama tiga minggu disana. Semalam sebelum Ayah dan Ibu berangkat, aku sempat protes kenapa aku di tinggal hanya berdua dengan Rino, adik kembarku yang berbeda lima menit itu. Ayah, yang sangat sabar meski bertubi-tibu masalah tengah membebaninya masih tetap bisa menenangkan hatiku, berkata kalau aku pasti bisa merawat dan mengurus Rino sebaik ibu mengurusnya.
Oh ya, aku belum menceritakan kenapa aku sampai protes ketika harus ditinggalkan dengan Rino berdua selama tiga minggu. Rino sering mengeluh sakit kepala, mual, hingga suatu ketika dia pernah memuntahkan darah segar dari mulutnya kepangkuanku ketika dia mengeluhkan sakitnya padaku ketika Ayah dan Ibu sedang menghadiri suatu jamuan makan malam resmi saat kami kelas dua SMA. Ayah dan Ibu tak sampai hati memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi padanya, bahkan padaku juga. Jadi, selama ini aku hanya bisa menerka-nerka penyakit saudaraku ini. Saat ini, aku, Fahrina Dina Amaranti, sedang menikmati sarapan sederhana dengan secangkir coklat hangat dan sepotong roti panggang polos setelah tadi jam lima subuh terbangun karena Rino berteriak-teriak kesakitan dan mulutnya kembali mengeluarkan cairan merah hitam yang berbau amis itu. Aku hanya bisa memeluknya dan memberikan obat yang diberikan ibu jika penyakitnya kambuh. Sesekali aku membisikkan asma Allah dengan harapan dia bisa tenang.
                “ Rin, kepalaku sakit banget, perutku rasanya mau meledak. “ ratap Rino sambil terbatuk-batuk menahan sakit.
                “ Tenang, No. Kamu pasti tahan. Obatnya belum bereaksi, kan? Kalo udah bereaksi pasti sakitnya reda. “ kataku bingung luar biasa, putus asa mencari kata-kata yang bisa menenangkan Rino. Aku hanya bisa memeluknya, mendekapnya didadaku, berharap sakitnya bisa berkurang, berharap aku bisa meredakan sakit yang sedang dirasakannya.
                “ Rin? “ panggil seseorang dari arah belakangku.
                Aku meletakkan roti panggangku dan menoleh kebelakang. “ No, kok kamu jalan-jalan? “ tanyaku heran saat bagian dari diriku yang lain ini menghampiriku.
                “ Dadaku sesek kebanyakan diem di kamar. Sumpek sumpahnya. “ katanya sambil duduk di kursi meja makan diseberangku.
                Kulihat wajahnya masih sangat pucat, kantung mata hitam menggelayut membayangi matanya, dan ada noda darah yang mengering pada pipi kanannya dan piamanya. Banyak teman-temannya yang menyebutnyan tampan dan putih, tapi menurutku dia biasa-biasa saja.
                “ Pasti kamu lapar. Bentar ya, aku siapin makan ma obat kamu dulu. “ kataku sambil beranjak karena aku kaget sekarang sudah jam sebelas siang, saatnya Rino minum obat. Aku segera sibuk di depan kompor, menyiapkan bubur ayam yang kumasak tadi pagi sementara Rino, aku punya firasat aneh, sedang memandangiku dari belakang. 
                “ Nih makan dulu, aku ambil obat kamu dulu di kamar. “ kataku sambil memberikan semangkuk bubur panas pada Rino.
                “ Ih, yang bener aja lu, Rin. Masa lu kasih gue bubur yang baru banget mendidih? “ kata Rino, mulai kumat menyebalkannya.
                “ Eh lu, udah cepet makan sana, kagak usah banyak bacot dulu. “ kataku kesal sambil berjalan menuju kamar Rino.
                Ketika aku memasuki kamar Rino, benar saja, disini pengap sekali. Ketika kubuka tirai berwarna kuning muda dan cahaya matahari mulai menerangi, kulihat betapa kacaunya kamar ini. Pelan-pelan, kurapikan pakaian-pakaian Rino, buku-bukunya, tas-tasnya, dan ketika kulihat bekas darah yang mulai mengering di lantai subuh tadi, mengingatkanku untuk membersihkannya nanti siang. Segera kuambil obat-obatan Rino dan kembali ke meja makan.
                “ Nih udah aku abisin, mana obatnya sekarang? “ tagih Rino padaku yang baru saja datang.
                “ Beneran lu abisin, kan? Awas aja kalo lu buang. “ ancamku padanya sambil mengangsurkan obat-obatnya padanya, lalu mengambilkannya segelas air bening.
                Rino sibuk meminum obat-obatnnya, di awasi oleh aku. Rupanya dia tak menyadari bahwa ada darah mengering di pipi kanannya.
                “ Ngeliatin apaan sih lu? Gue ganteng ya? “ tanya Rino kepedean.
                ” Anjrit, itu ada darah ngering di pipi lu, No. Lu inget kagak tadi subuh lu muntah darah lagi? Sini gue bersihin dulu. “ kataku kesal.
                “ Mana? Tolong bersihin. “ kata Rino sambil mengangkat pipi kanannya minta aku bersihkan. Aku mulai membersihkan pipinya dengan tanganku.
                “ Tuh udah bersih tuh. Liat aja sendiri kalo gak percaya. “ kataku ketika wajah Rino sudah bersih dari darah yang mengering.
                Rino menguap lebar, “ Aku mau tidur lagi. “ kata Rino sambil beranjak dari meja makan.
                “ Ya udah tidur sana. “ kataku sambil membereskan bekas makan Rino dan obat-obatannya. Ketika aku sedang mencuci piring dan gelas kotor yang menumpuk di bak cuci piring, pikiranku melayang-layang pada kenangan burukku dengan Rino ketika penyakit Rino kambuh. Itu adalah kali pertamanya aku ditinggalkan berdua dengan Rino di rumah-hari ini kali kedua aku hanya berdua dengan Rino di rumah, sebelumnya selalu ada Bibi atau Paman kami yang menemani kami. Saat itu sedang liburan kenaikan kelas dari kelas dua SMA ke kelas tiga SMA. Ayah dan Ibu harus menghadiri sebuah jamuan makan malam resmi kolega ayah. Aku, yang masih anak SMA, belum pernah menangani Rino yang sedang kambuh penyakitnya, mengiyakan saja ketika Ayah dan Ibu bilang padaku kalau aku akan berdua saja dengan Rino untuk semalam. Waktu itu Ayah dan Ibu pergi pada petang hari. Seharian Rino tertidur, dan aku pun sibuk di depan laptop sambil sesekali mengecek Rino yang tertidur dikamarnya. Malam hari, setelah memasak makan malam, mendadak terjadi hal yang paling tidak akan aku lupakan seumur hidupku.
                “ Fahrin! “ teriak Rino kencang, disusul oleh suara Rino yang terbatuk-batuk dan muntah.
                “ Rino! AAAAAAAAAAAAHHHHH! “ jeritku panik, histeris, karena di lantai sudah ada darah kehitaman berbau amis yang menyesakkan memenuhi lantai sementara ke dua tangan, mulut, dan piama yang Rino pakai waktu itu penuh dengan darah. Dengan panik aku mencari-cari obat Rino, sambil mendekap Rino yang sangat kesakitan. “ Ini minum obatnya, No! “ kataku panik.
                “ Gak mau! Aku udah bosen minum obat! “ kata Rino ditengah sakitnya.
                “ Jadi, obat yang aku kasih tadi siang gak kamu minum? “ kataku tersengat amarah.
                “ Aku bosen minum obat terus, Rin, aku juga pengen kayak kamu yang gak pernah minum obat! “ sengat Rino menyayat hatiku.
                Hatiku sakit sekali mendengar Rino berkata demikian. Kalau Tuhan mengizinkan, aku pun ikhlas jika aku harus berbagi penyakit denganmu, ikhlas jika aku harus menderita sepertimu, ikhlas jika aku harus meminum seluruh obat-obatan yang menakutkan itu.
Aku hanya bisa menangis dan memeluk Rino yang masih muntah darah erat-erat. Aku menyadari kalau dadaku terasa basah dan lengket oleh darah. “ No, kamu ngomong gitu jadi bikin aku tambah sedih. Sekarang kamu minum obat kamu dulu ya. “ isakku pedih.
“ Ya udah kalo itu bisa ngurangin sedihnya kamu. “ kata Rino tak jelas menahan darah yang terus keluar dari mulutnya.

Aku mengelap tanganku sedikit pada celana pendekku dan mulai meminumkan obat pada Rino. Setelah minum obat, yang untungnya bisa diterima oleh tubuh Rino. Aku masih terus mengisak ketika aku membaringkan Rino.
“ Rin, maafin omongan aku tadi, ya. Aku gak maksud bikin kamu sedih. “ kata Rino pelan.
Aku yang sedang mengelap tangan Rino menatap Rino. “ Aku ngerti, No. Gak apa-apa kamu ngomong gitu sama aku. Aku pun bakal ngomong gitu kalau aku jadi kamu. “ kataku sambil beralih mengelap mulut dan pipi Rino. Kemudian kami saling berdiam diri. Setelah membersihkan tangan dan wajah Rino, aku menggantikan piama Rino dengan yang baru. Saat aku sedang mengambilkan piama baru Rino di lemari, aku merasa kalau Rino sedang menatapku.
“ Makasih udah jadi kakak yang baik buat aku. “ kata Rino ketika aku sedang menggantikan piamanya.
Aku tersenyum, “ yah, ini udah jadi tugas aku, No. “ kataku bingung hendak menjawab apa.
“ Sekarang kamu tidur, ya. “ kataku lagi pada Rino. Rino menurutiku dan memejamkan matanya. Setelah melihat Rino memejamkan matanya, aku segera sibuk membersihkan darah yang berceceran di lantai, mengganti bajuku, dan mencuci semua yang terkena noda darah. Setelah selesai, aku memutuskan untuk tidur di kamar Rino, takut kalau-kalau dia kambuh kembali. Aku tak akan menunggu Ayah dan Ibu pulang, karena waktu itu sudah pukul dua belas malam. Aku tidur menghadap ke punggung Rino, memeluknya dari belakang, melindungi tubuhnya yang lemah agar tak kedinginan. Yang aku ingat, ketika terbangun keesokan paginya, Rino sudah tidur menghadapku, memelukku, dengan napasnya yang berhembus disekitar wajahku.
                “ Rin? “ panggil Rino dari jauh.
                “ Ya? “ balasku sambil berjalan menuju kamar Rino. Aku melangkah memasuki kamar Rino. Ketika aku menatap Rino yang sedang terbaring berselimut di ranjang , dia tampak sedikit sedih. Aku duduk didekatnya. “ Kenapa, No? “ tanyaku pelan.
                Rino tidak langsung menjawab pertanyaanku, dia masih tampak sedih. “ Kamu, gak suka ya, Cuma berdua sama aku di rumah ini? “ tanya Rino membuat jantungku rasanya bocor.
                Aku hanya bisa terdiam, terpaku, rasanya seperti jatuh terbenam ke dalam ketakutanku yang paling dalam. Selama ini aku menyembunyikan ketidaksukaanku jika ditinggal hanya berdua dengannya. Aku terus mematung, menunggu kata-kata Rino yang lainnya.
                “ Kamu gak suka kita berdua aja di rumah buat tiga minggu kedepan ini? “ tanya Rino lagi, sekarang sedikit dingin.
                Lagi-lagi aku hanya terpaku, kehilangan kata-kata yang biasanya lancar sekali keluar dari mulutku.
                “ Aku ngedenger omongan kamu sama Ayah dan Ibu tadi malam. Semua omongan kamu tentang kamu takut berdua aja sama aku, kamu ngeri kalau penyakit aku kambuh lagi dan kamu gak bisa ngobatinnya, ketakutan kamu juga sama besarnya kayak ketakutan aku yang takut mati sewaktu-waktu, Rin. “ kata Rino masih dingin.
                Aku hanya bisa menatap Rino dengan kosong dan berusaha agar air mataku tidak meleleh dihadapannya.
                “ Kalau kamu mau tau, ada kamu disamping aku aja rasanya udah jauh lebih baik, Rin. “ kata Rino pelan.
                Akhirnya aku mengalah pada air mata. Rasanya saat itu aku seperti terjeblos ke dalam es yang dingin sekali. Mendadak, Rino bangun dan memelukku. Aku menangis di dalam dadanya.                        “ Maaf banget, No, aku maksud ngomong gitu selama ini. Aku cuma takut kalau kamu mati gara-gara aku. “ isakku pedih sekali.
                Rino mengusap-usap punggungku dengan sayang, “ kita datang ke dunia ini berdua, jadi kita harus pergi dari dunia ini berdua juga. Aku akan terus bertahan hidup buat kamu,Ibu, Ayah, semuanya pokoknya. “ bisiknya ditelingaku.
                Aku terus menangis, semua yang aku rasakan selama sembilan belas tahun ini tumpah ruah semuanya. Rino terus mengusap-usap punggungku, air mataku telah membasahi dadanya.
                “ Maafin semua omongan aku barusan, Rin. Aku gak maksud bikin kamu jadi sedih. Maaf banget. “ kata Rino sambil mengusap air mata dipipiku. “ Aku harap kamu gak pernah bosen ngurusin aku, nemenin aku, sama ngejagain aku, ya. “ bisiknya ditelingaku.
                Aku mengangkat mukaku, menatapnya dengan mata yang terasa berat dan perih, pasti mataku bengkak dan merah. “ Udah, sekarang kamu tidur lagi, No. Nanti malem aku bangunin lagi ya buat minum obat. “ kataku pelan dan sengau, lalu menyelimuti Rino, kemudian meninggalkan kamar Rino. Sambil berjalan, aku sibuk mengusap mataku, kembali meneruskan pekerjaanku mencuci piring, menyapu, mengepel, dan mencuci pakaianku dan Rino. Sambil mencuci pakaian, aku terus memikirkan Rino dan ucapannya tadi. Akhirnya pekerjaanku selesai ketika jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Setelah itu aku memasak makan malam dan menyiapkan obat-obatan Rino. Selesai semuanya, aku tinggal menunggu Rino bangun. Sambil menunggunya bangun, aku memilih untuk menelepon pacarku, yang tampan berkulit putih, sedikit gemuk, dan bermata tajam menusuk, Novak.
                “ Halo, Novak, kamu lagi di mana? “ tanyaku ketika Novak menjawab teleponku.
                “ Aku lagi di rumah, baru aja mau telepon kamu. Kamu di mana? “ tanyanya balik.
                “ Di rumah aku juga, ngejagain Rino. “ kataku lagi.
                “ Oh iya, gimana kabarnya Rino? Sehat? Gak kambuh lagi? “ tanya Novak.
                “ Untungnya lagi sehat. Tapi tetep aja pucet. Aku pantau terus obatnya, soalnya kalo sekali gak minum obat penyakitnya pasti langsung kambuh. “ jawabku lagi.
                “ Udah lama aku gak maen ke rumah. Besok pulang kuliah aku ke rumah ya? “ kata Novak.
                “ Oke, SMS aja ya. Eh gimana Tugas Akhir kamu? Lancar? “ tanyaku padanya, teringat pada Tugas Akhir yang sedang disusunnya.
                “ Yah syukur sih lancar. Semoga Rino sehat-sehat aja ya Sayang. “ kata Novak baik hati.
                “ Oh sip sip, oh iya, udah dulu ya, dia kayaknya udah mau bangun. Nanti di sambung lagi. Bye. “ kataku menyudahi pembicaraan.
                “ I love you. “ kata Novak menyudahi pembicaraan.
Telepon pun berakhir. Sekilas aku seperti mendengar suara Rino bangun. Dan ternyata memang benar, dia keluar dari kamarnya dengan wajah mengantuk dan rambut acak-acakan. Tanpa kata-kata dia langsung menuju meja makan dan mulai makan. 
                Karena lapar, aku pun ikut makan, mengingat makanan yang masuk ke dalam tubuhku hari ini hanya secangkir coklat dan roti panggang. Ketika kami selesai makan, Rino dengan baiknya langsung meminum obatnya dengan tekun. Setelah meminum obatnya, Rino mulai membuka obrolan.
                “ Besok kamu kuliah pagi? “ tanyanya ringan.
                “ Iya, aku besok seharian di kampus, dari jam tujuh pagi sampe jam lima sore. Tapi aku bakal sempetin buat pulang dulu jam satu bikinin kamu makan siang, soalnya jam sepuluh sampe jam tiga gak ada dosen. Besok, Amy dateng gak nemenin kamu? “ aku menanyakan apakah pacar Rino, Amy, akan menemaninya saat aku sedang kuliah.
                “ Iya, tenang aja, dia bakal nemenin aku seharian, katanya kuliahnya dia lagi libur buat besok. “ kata Rino lagi. “ Oh ya, udah lama aku gak liat Novak. Dia sibuk banget ya sama Tugas Akhir-nya? “ tanya Rino mendadak.
                “ Iya, barusan sebelum kamu bangun aku nelepon dia dulu, katanya besok pulang kuliah dia mau main kesini. “ kataku teringat percakapanku dengan Novak barusan. “ Eh, kamu mandi dulu sana, jorok ih ga mandi seharian. “ kataku kaget sendiri.
                “ Mandiin. “ kata Rino tiba-tiba manja padaku.
                “ Hiiiiiiii, anjrit lu, geli ih, hiiiiiiiiiiiiiii. “ ringisku ngeri sambil beranjak dari meja makan dan menuju kamar mandi untuk menyiapkan air hangat untuk Rino mandi. Sambil menunggu bathub terisi penuh, aku memain-mainkan air hangat yang mulai memenuhi bathub.           
                “ Fahrin! “ panggil Rino membuyarkan lamunanku.
                Aku hampir saja terjatuh kedalam bathub karena kaget, lalu aku berdiri, mematikan keran air, dan setengah berlari menghampiri Rino di ruang tengah. Di sana betapa kagetnya aku ketika melihat dia meringkuk di atas karpet di lantai sedang memegangi kepalanya, menahan sakit yang teramat sangat. Aku langsung menarik tubuhnya ke atas sofa dan membaringkannya, lalu aku berlari-lari menuju kamarnya dan mencarikannya obatnya yang lain yang tadi tidak diminumnya, obat yang hanya di minum dalam keadaan gawat darurat. Ketika aku kembali ke ruang tengah Rino masih saja meringkuk kesakitan di sofa.
                “ Fahrin kenapa kepala aku sakit banget? “ tanya Rino menahan sakit.
                Aku hanya bisa sibuk dengan obat Rino, lalu aku meminumkannya  pada Rino sambil berdoa dengan sepenuh hati sakit dikepalanya akan hilang. Rino masih mengeluh kesakitan, dia hanya bisa mengerang dan mengerang. Aku, belahan jiwanya, hanya bisa mendekapnya erat-erat, berharap aku bisa mengurangi rasa sakitnya. Tuhan, walau hanya sedetik, aku ingin bisa berbagi rasa sakit dengannya, ingin melihatnya sehat seperti yang lainnya, ingin mengurangi rasa sakit yang menderanya.

Tidak ada komentar: